Kemuliaan Apa yang Kita Cari?
Contradixie, Esai – Mendung
tebal yang menyelimuti desa membuatku ingin menjalani pagiku dengan lamban dan
hati-hati. Dalam kelambanan yang ternyata aku merindukannya, seorang bapak
dengan Sepeda Unta menyalipku dari kiri.
Sang
Bapak melewatiku santai. Wajahnya senyum tipis tapi mendalam. Rautnya
memancarkan keyakinan dengan beberapa sayatan kegetiran di bagian tertentu.
Auranya membuatku ingin terus mengamatinya, hingga beberapa meter di depanku.
Sang
Bapak memakai celana pendek–bekas celana panjang yang dipotong begitu saja
dengan gunting–dan telanjang kaki. Beliau mengenakan kaos dwiwarna: lengan
magenta dan badan putih. Tertulis di punggung kaosnya “VivaGenerik”.
Setahuku,
VivaGenerik adalah salah satu nama apotek di Indonesia. Sepertinya, kaos yang
beliau kenakan adalah hasil pemberian dari Apotek untuk kepentingan iklan atau
beliau sempat membeli obat dan akhirnya dapat hadiah.
Selang
setengah menit, Sang Bapak berhenti di tepi jalan, memarkir Untanya, dan turun
ke Sawah. Untuk beberapa saat, beliau tampak mengambil nafas panjang sembari
matanya menyapu area sawah di depannya, dari kanan ke kiri, sampai akhirnya aku
gantian melewatinya.
Dalam
papasan pertama, aku merasa distingtif–dalam pengertian Bourdieu–dengan
penampilanku yang mengenakan batik, celana hitam, bersepatu, dan mengendarai
sepeda motor, yang intinya bagi kesadaran modernku ini adalah simbol
“kerapian”, sedangkan beliau sebaliknya.
Namun,
pada papasan kedua, semuanya luruh. Dalam hitungan detik, pandanganku tidak
saja bergeser, tapi berganti. Apa yang kuanggap “keren” setibanya menjadi
kosong melompong.
Ini
terjadi dalam dua (2) fase. Pertama, Sang Bapak bangun pagi, menyeduh kopi, dan
pergi ke sawah, sawahnya sendiri, untuk suatu target taktis, entah matun atau
memastikan air yang mengalir ke sawah sesuai.
Apa
yang beliau lakukan adalah untuk sesuatu yang ia memilikinya sendiri. Dalam
konteks ketika “lowongan kerja” menjadi kata kunci yang paling banyak dicari
setelah “bokep”, pilihan beliau untuk bekerja di sektor pertanian adalah
sebentuk keberanian yang langka, khususnya jika kita bandingkan dengan elan
generasi Z atau bahkan milenial.
Berdasarkan
statistik, pada 2003 Indonesia punya sekitar 31,2 juta petani, tapi pada 2018
angka tersebut turun di angka 27,7 juta. Ini pun, 11,2 juta dari total tersebut
adalah petani yang umurnya di atas 55 tahun.
Dengan
ungkapan lain, yang bekerja dalam kemandirian dan kewenangannya sendiri adalah
Sang Bapak. Beliau adalah pimpinan dalam perusahaan. Namun, mengapa yang
berlagak nggaya malah aku, yang secara apa pun tidak memiliki keberanian untuk
membangun perusahaan sendiri dan justru memilih menjadi bebek pada entah apa.
Kedua,
Sang Bapak sanggup dengan sangat elegan–berangkat pagi, tiba di sawah, dan
menghirup udara sejuk sambil senyum optimis–menghadapi tantangan dua dimensi:
alam dan politik.
Problem
alam para petani, semua dari kita barangkali sudah mengetahuinya, seperti dari
cuaca tidak menentu, ketersediaan air, dan serangan hama. Adapun problem
politik, kita tahu pula, sampai hari ini–kendati Presiden dalam pidato HUT
ke-77 RI pada Selasa (16/8/22) mengklaim bahwa Indonesia sudah Swasembada–negara masih impor beras,
bahkan jumlahnya mencapai 407.741 ton pada 2021, yang pada 2022 sebesar 352.286
ton.
Artinya,
hasil panen Sang Bapak berpotensi tidak terserap di pasar lantaran negara masih
melakukan importasi, yang persis di sini, aku kebingungan memilih kata yang
tepat untuk menggambarkan keteguhan beliau, termasuk segenap petani di
Indonesia.
Satu,
beliau memiliki keberanian yang sedemikian rupa. Dua, beliau selalu bangun pagi
dengan keteguhan yang rumit dijelaskan untuk menyelesaikan tugas-tugasnya.
Tiga, kenapa malah aku yang merasa lebih mulia? Kemuliaan opo iki.
Di
atas semuanya, boleh jadi aku terlalu berlebihan, tapi adakah sesuatu yang
tidak berlebihan di semesta ini? Eh.
Comments
Post a Comment