Langgam Peradaban Quran
Contradixie, Esai – Salah satu
kenangan yang sangat membekas waktu kecil ketika ketika jama’ah salat magrib di
langgar kampung adalah bacaan sang imam yang terdengar sangat khas. Mirip
gending-gending Jawa yang sesekali saya dengar dari nenek. Ini sungguh berbeda
dengan nada qiraah yang saya dengar di radio-radio. Entah kenapa, seiring
remaja ketika semakin banyak mengaji, apalagi sempat ikut ngaji qira’ah, saya
merasa yang di radio-radio itu lebih islami. Sementara itu, nada mbah imam
langgar itu masih terlalu Jawa sehingga di mata saya kurang Islami.
Beranjak dewasa, saya semakin jarang
menemukan nada baca Alquran yang seperti yang dilantunkan mbah imam langgar
itu. Apalagi ketika merantau ke kota, baik Surabaya atau Jakarta, di
masjid-masjid besar biasanya bacaannya bagus-bagus, alias lebih mirip radio.
Sementara itu, di banyak masjid kecil atau di musolla kampung di perkotaan,
saya sering menjumpai bacaan Quran yang masih tidak beres tajwidnya, yang
membuat saya bahkan jadi ragu untuk melanjutkan solat bermakmum dia atau mufaraqah.
Ketika saya ke kota Jogja, soal tajwid
rupanya tidak lebih baik. Kecuali tentu saja di masjid-masjid besarnya, yang
biasanya bacaan sang imam bagus-bagus alias mirip radio. Namun, suatu kali di
masjid kampung pinggiran kota ketika ikut solat jumat di sela-sela aktivitas
ngopi, saya menemui bacaan ayat suci yang pelan-pelan menyeret ingatan pada
kiai kampung yang jadi imam di langgar kampung waktu kecil. Pada momen itu tak
terasa air mata saya perlahan menetes. Suasana jadi terasa lebih syahdu.
Kerinduan suasana itu yang membuat saya saya ke masjid itu kembali pada jumat
berikutnya. Tapi rupanya imamnya sudah berbeda. Dan berkali-kali saya jumatan
ke masjid itu tapi imam itu seperti tak pernah kembali.
Pada saat yang lain, tersiar suatu
berita yang berkaitan dengan pembacaan ayat suci Quran dengan langgam Jawa,
yakni oleh seorang qori Muhammad Yasser Arafat pada peringatan Isra Miraj di
Istana Negara, Jumat 15 Mei 2015. Peristiwa itu menjadi pemantik perdebatan di
berbagai media massa, yang dari itu membuat saya jadi ikut belajar bukan semata
soal halal-haramnya belaka, melainkan bahwa rupanya dalam urusan qiraah memang
membentang sejarah yang panjang mengenai perjumpaan Islam dengan berbagai
kebudayaan. Dan saya baru tahu, bahwa bahkan berbagai variasi qira’ah yang saya
dengarkan di radio atau diajarkan ustad waktu saya mengaji qira’ah rupanya juga
bukan “murni” dari tanah Arab sebagaimana persangkaan saya. Ini mirip belaka
dengan arsitektural masjid, baik dari sisi kubah, menara, dan sebagainya, yang
merupakan hasil dari perjumpaan antar budaya, bukan murni dari Arab. Sehingga,
untuk urusan pembacaan Alquran dengan langgam Jawa itu, saya bisa
mempertanyakan khususnya pikiran saya sendiri, mengapa “langgam Jawa” saya
anggap kurang islami dibanding langgam-langgam lain yang sudah “pakem” dalam
qira’ah, padahal sama-sama berasal dari tradisi atau kebudayaan “asing”.
Atas hal tersebut, saya merasa perlu
membuat catatan ringkas untuk berbagi mengenai hasil penelusuran saya atas proses
perjumpaan budaya sebagaimana di atas, khususnya yang berkaitan dengan qira’ah
Alquran. Sebelumnya, saya perlu berterima kasih pada orang-orang yang mendukung
saya, khususnya Bung Suryo yang membuka jalan kajian ini, guru kehidupan saya
Mas Irfan Afifi, Saifullah “Ipung” dan Aditya “Pakde” sebagai partner diskusi,
dan mas Aria Langgar yang banyak menyumbangkan gagasan berikut referensi dalam
kajian ini.
Langgam Peradaban
Pergumulan Alquran sebagai kalamullah
dengan berbagai jenis kebudayaan adalah suatu keniscayaan sejarah. Dalam kajian
akademis, Alquran seringkali ditinjau dari dua aspek, yakni informatif dan
performatif. Aspek informatif ini melahirkan aneka tafsir dan penerjemahan,
sementara aspek performatif memunculkan aneka ragam kesenian Alquran. Di antara
ragam kesenian yang paling menonjol ada dua, yakni dalam ranah seni tulis dan
seni rupa muncul seni kaligrafi Alquran dan dalam ranah seni olah suara muncul
seni tilawah Alquran.
Kedua kemunculan ragam “seni Alquran”
itu nampak mengalami nasib yang berbeda. Jika seni kaligrafi Alquran relatif
mulus alias minim kontroversi, seni qiraah atau nagham Alquran
bermunculan pro kontra. Apalagi jika dalam pertunjukan seni qiraah Quran itu
memakai atribut yang dianggap belum populer, seperti membaca Alquran langgam
Jawa yang dilangsungkan oleh Istana Negara dalam perayaan Isra Miraj (2012) di
atas. Wajar jika menimbulkan pro kontra yang cukup sengit. Namun, perdebatan
mengenai nagham Quran itu punya dampak positifnya, setidaknya kita bisa
mengkaji kembali dan memahami proses panjang historisitas penyebaran Alquran
itu sendiri.
Kajian akademis mengenai pergumulan
Alquran dengan kebudayaan secara umum pernah menjadi suatu perdebatan yang
keras di kalangan umat Islam, yaitu yang pernah dikonsepsikan oleh Nasir Hamid
Abu Zayd. Nasir menyatakan bahwa Alquran, selain merupakan produsen budaya,
juga merupakan produk kebudayaan. Istilah Alquran sebagai produk kebudayaan
inilah yang membuat Nasir dituduh menghina kalam Tuhan. Kalau menengok sejarah,
perdebatan mengenai Alquran pernah mengeras pada era Abbasiyah, khususnya pada
era Al-Makmun yang sampai melakukan “mihnah”, yakni antara golongan penguasa
yang mengikuti pendapat golongan Mu’tazilah dengan keyakinan Alquran sebagai
makhluk Allah versus para ulama yang bersikukuh bahwa Alquran adalah
kalamullah. Dilihat dari situ, istilah “produk kebudayaan” dianggap jauh lebih
“ekstrim” daripada “makhluk Allah” yang diyakini kaum Mu’tazilah itu.
Namun, yang patut dipahami dari
konsepsi Nasir tersebut adalah keniscayaan bahwa kalamullah mengalami
pergumulan pertama kali dengan bahasa/budaya Arab tak bisa dibantah, sehingga
pemisahan—jika pun itu diperlukan—mengenai mana yang budaya Arab dan mana yang
kalamullah menjadi sesuatu yang membutuhkan kajian yang panjang. Yang artinya,
kemelekatan budaya pada Alquran adalah keniscayaan sejarah.
Dalam sejarah, penyebaran Alquran
berlangsung massif sejak era penakhlukan besar-besaran bangsa Arab terhadap
dunia luar pasca Nabi memantapkan daulahnya di Madinah dan berhasil menguasai
daratan semenanjung Arabia, lalu dilanjut era khulafaurrasyidun yang dilanjut
era dinasti Umayyah dan Abbasiyah.
Era Umar bin Khattab tercatat sebagai
era paling luas penakhlukannya, sehingga mampu menggerogiti kekuasaan Romawi di
bagian barat dan mengakhiri kekuasaan Persia dibagian timur. Seiring
penakhlukan itulah Alquran menyebar dalam dua aspek, yakni aspek tulisan dan
lisan. Dalam aspek tulisan, kita mengenal bahwa jenis khat awal penulisan
Alquran disebut khat Kufi, jauh sebelum munculnya khat naskhi yang marak
seperti sekarang. Kata Kufi dinisbatkan dari kota Kufah, kota yang masalalunya
adalah bagian dari kebudayaan Persia, yang kemudian seiring masuknya Islam,
kota itu menjadi pusat pemerintahan khalifah Ali.
Namun, penyebaran Alquran pada masa
awal lebih condong lewat medium penuturan lisan, bukan lewat tulisan. Sebab
itulah, ketika Islam menyebar, aneka langgam yang ada pada wilayah takhlukan
itu sangat mempengaruhi bagaimana karakter pembacaan Alquran, yang saat ini
dikenal dengan nagham Quran. Aneka tradisi atau kesenian olah suara atau
seni musik warisan peradaban Persia yang berlangsung dalam berbagai suku atau
kabilah, ketika mengalami penakhlukan Islam, lalu secara alamiah sangat
mempengaruhi intonasi dalam membaca Alquran. Ini berlaku juga dengan wilayah
peradaban lain tentu saja. Itulah yang membuat kita mewarisi aneka macam nagham
Quran yang sangat kaya.
Dr. Basyar
Awad Ma’ruf dalam bukunya Al-Bayan Fi Hukm At-Taghani Bi Al-Qur’an, menukil
karya Ibnu Manzur dalam Lisanul ‘Arab, menjelaskan 2 teori mengenai asal
mula munculnya nagham al-Qur’an. Pertama, dinyatakan bahwa
sumber nagham al-Qur’an berasal dari ghina atau nyanyian yang
turun temurun dilantunkan oleh bangsa Arab. Kedua, nagham terinspirasi
dari nyanyian budak-budak kafir yang menjadi tawanan perang.
Sebenarnya, kedua
teori tersebut sama-sama bisa dibenarkan, dalam arti bahwa baik bangsa Arab pra
Islam yang juga dikenal suka menyanyi, punya sumbangsih dalam nagham
Quran. Hal ini persis sebagaimana keterangan Imam al-Khathtabi yang menjelaskan
latar belakang dari munculnya hadits: laisa minna, man lam yataghannal
qur’an, tidak termasuk golongan kami orang-orang yang tidak melagukan
Quran. Imam al-Khaththabi berkata menjelaskan bahwa orang Arab sangat ganderung
dengan nyanyian.Mereka bernyanyi pada banyak kesempatan. Sehingga pada saat
Alquran turun, Nabi menginginkan agar kebiasaan itu diganti dengan kebiasaan
melagukan Al-Quran. (Syarh kitab At-Tauhid min Shahih Al-Bukhori, Al-Ghanimani
II/460).
Adapun teori
kedua yakni nagham itu berasal dari nyanyian budak-budak kafir yang jadi
tawanan perang juga ikut andil dalam menyumbangkan aneka ragam nagham
Quran. Yang paling menonjol misalnya banyak sekali nama-nama nagham yang
berasal dari bahasa non-Arab, khususnya Persia. Misalnya nagham
Nahawand, Rast, Ajam, Jiharkah, dan sebagainya. Nahawand adalah nama kota
Persia yang menjadi basis pertahanan pasukan kekaisaran Sasania di bawah
pimpinan Peroz Khosrau, yang kemudian berhasil ditakhlukkan kaum muslim pada
era Khalifah Umar. Kota-kota Persia lain kemudian menyusul berjatuhan di tangan
Islam, seperti Isfahan.
Efek dari
penakhlukan tersebut adalah pasukan Islam mendapati banyak tawanan kaum kafir
yang bisa dijadikan budak. Nah, para budak kafir tawanan perang inilah ketika
mereka masuk Islam, tradisi (khususnya nyanyian) mereka dengan sendirinya
membawa pengaruh dalam pembacaan Alquran. Dalam hal ini, penakhlukan atas
wilayah kekaisaran Persia membawa pengaruh yang sangat luas terhadap model
pembacaan Alquran. Atas dasar hal ini pula, demi alasan mensucikan Alquran dari
penyelewengan-penyelewengan pembacaan oleh orang-orang non-Arab, sehingga
beberapa ulama mengharamkannya.
Nagham Era Awal Islam
Dalam kitab ‘Iqd
al-Farîd, Ibn ‘Abd Rabbihi, menyatakan asal-muasal musik Arab pra-Islam dapat
dilacak pada tradisi para budak di pasar-pasar kota Arab seperti Madinah,
Thaif, Khaibar, Wadi al-Qura dan sebagainya. Di kota-kota itu, keberadaan “qaynah”,
yakni penyanyi wanita sekaligus budak, yang bertugas menghibur para tamu dengan
nyanyian, anggur dan tentu saja erotisme. Eksistensi para penyanyi itu bahkan
turut memberikan kontribusi besar bagi perkembangan perdagangan budak di
beberapa pasar kota-kota Arab terkenal seperti Madinah, Ta’if dan Okaz.
Okaz bahkan terkenal
sebagai pasar yang menjadi tempat bagi penyelenggaraan festival kesenian
pribumi paling bergengsi era itu, dimana syair dan musik dari berbagai belahan
jazirah Arab dipertunjukkan. Sampai sekarang kita mewarisi syair-syair pemenang
dalam festival seni Okaz era Jahiliyah tersebut, yang dikenal dengan al-mu’allaqat.
Kata al-mu’allaqat itu mengacu pada syair-syair pemenang ditulis dengan
tinta emas dan digantungkan di dinding ka’bah.
Dalam hal itu, musik
memang dianggap semacam atribut belaka dari syair, sehingga pelacakannya jauh
lebih rumit. Namun, yang tak bisa disangkal adalah bahwa musik Arab pra Islam
erat kaitannya dengan syair atau puisi. Keduanya seringkali dimainkan secara
bersamaan, dimana musik mengiringi sang penyair melantunkan syairnya dengan
berbagai tujuan, seperti pemujaan kesatriaan dan kesetiaan terhadap klan, merayakan
kemenangan, atau sekedar mengisi waktu luang.
Pertalian erat tersebut
nampak dalam komposisi puisi tidak akan berhasil jika tidak mengikuti pola-pola
musikal dalam bait-baitnya, sementara lagu (ghina’) atau modus musik (nagham)
sangat bergantung pada aneka jenis atau bentuk puisi. Dalam tradisi
kesusastraan Arab, irama musik senantiasa merasuki puisi dan menyisipkan
dimensi baru sehingga melampaui budaya kefasihan. Dalam hal ini kita bisa
merasakan keindahan tersendiri jika ayat-ayat suci Alquran dibacakan dengan
nagham tertentu, daripada sekedar tartil. Atau, kita bisa mendapati keindahan
yang lebih jika suatu puisi dideklamasikan dengan intonasi tertentu daripada
sekedar dibaca fasih huruf-hurufnya atau titik komanya.
Jika kemudian Alquran
hadir pada bangsa Arab, sementara itu jika diteliti, banyak surat-surat dalam
Alquran yang nampak mengikuti ritme tertentu seperti ritme musik, maka adalah
merupakan suatu kewajaran jika dikatakan bahwa sejak dari Nabi sendiri Alquran
dibacakan dengan nagham tertentu. Apalagi Nabi sudah pasti sangat
menghayati Alquran. Hanya saya kita kesulitan melacak jenis apa dari nagham-nagham
yang ada itu yang sering dipakai Nabi.
Berbagai informasi yang
berasal dari hadits-hadits Nabi atau catatan sejarah, kita hanya mengetahui
bahwa nabi melagukan (taghanni) Alquran dengan merdu, dan beliau
menganjurkan agar memperindah bacaan quran. Begitu pula beberapa sahabat Nabi,
seperti Abu Musa Al-Asy’ari yang oleh Nabi dikatakan sebagai orang yang
dianugerahi suara seruling Nabi Daud. Ketika Nabi wafat, para sahabat yang
menyebar mengajarkan Alquran ke berbagai tempat. Seperti Abu Musa yang bermukim
di Basrah, Ibnu Mas’ud di Kufah, Abu Darda’ di Syam. Dari persebaran itu
kemudian saat ini kita mengenal istilah qira’ah sab’ah. Dan, istilah ini
mendapat legitimasi dari hadits Nabi yang berbunyi, bahwa Jibril berkata pada
Nabi “Wahai Muhammad, sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan atas tujuh huruf”.
Nabi Menggunakan Maqam
Jiharkah?
Ada banyak informasi
spekulatif mengenai Nabi Muhammad yang sering membaca Alquran khususnya Surat
Al-Fatihah ketika menjadi imam salat
dengan menggunakan maqam jiharkah/jaharkah, beberapa mengatakan
menggunakan maqam sikah. Misalnya dalam ceramah Ustad Abdul Somad, seorang da’i
populer di Nusantara, yang menyatakan bahwa dia telah membaca kitab Tarannum
Alquran yang ditulis ulama Syuriah, yang menyatakan bahwa Nabi SAW menggunakan
maqam Jiharkah dalam mengaji Alquran.
Namun, saya tidak
menemukan bukti yang valid mengenai informasi tersebut. Yang benar-benar valid
hanya bahwa Nabi sering membaca Alquran dengan merdu, dan menganjurkan membaca
Alquran dengan indah, dan mengapresiasi para sahabat yang melantunkan Alquran
dengan merdu. Namun, jika dilacak mengenai maqam apa yang digunakan Nabi, tidak
pernah jelas.
Mengenai maqam jiharkah
atau jaharkah, secara bahasa, jaharkah adalah istilah non-Arab. Adapun dalam
pengelompokan maqamat yang populer, jaharkah digolongkan sebagai bagian dari
maqam Ajam. Ajam dalam hal ini biasanya merujuk pada Persia. Dan, ketika
“telinga ‘Ajam” saya ketika mendengarkan bacaan qari’ dengan langgam jiharkah,
memang terasa betul bukan semata keindahan melainkan keakrabannya, sangat mirip
dengan orang Jawa menggending, sehingga secara emosional saya berkesimpulan
memang seharusnya Alquran dibaca semerdu ini. Tetapi perasaan emosional itu
dalam kajian ilmiah harus disimpan terlebih dahulu.
Jaharkah, jika dilacak
secara kebahasaan memang berasal dari bahasa Persia. Serumpun dengan kata
Dokah, Sikah, Banjakah, dan seterusnya. Kata Dokah berasal dari doh-gah yang
artinya level kedua. Sikah berasal dari seh-gah, level ketiga. Jaharkah berasal
dari chahar-gah, level keempat. Lalu Banjakah berasal dari “Panj-kah” alias
level kelima. Hitungan bahasa Persia kuno tersebut memang seakar dengan bahasa
Sanskerta, yang juga merasuk di Nusantara, seperti hitungan dwi, tri, catur,
panca, dan seterusnya.
Namun, tetap saja ada
kemungkinan mengenai maqam jiharkah dipakai Nabi dalam membaca Alquran. Hal itu
mengingat pengaruh tradisi berlagu dari orang-orang Persia yang sejak zaman pra
Islam sudah merasuki masyarakat Arab. Ini terlihat dari istilah “ghina” yang
artinya lagu, merupakan kosakata yang dengat dengan “khuniya” dalam bahasa
Persia yang artinya juga sama: lagu. Tetapi, itu hanya bukti lamat-lamat saja,
dan sulit dijadikan kesimpulan bahwa Nabi memakai maqam Jiharkah.
Lemahnya bukti yang ada
membuat saya pribadi berspekulasi bahwa asumsi tersebut hadir justru karena
pengaruh kuat dari tradisi musik Persia yang melebur dalam kebudayaan Islam,
khususnya pada era Bani Abbasiyah, di mana banyak teoritisi musik terlahir yang
kebanyakan adalah orang Persia. Untuk itu, kita perlu membahas kontribusi
Persia di sini, tanpa mengesampingkan kontribusi bermusik lainnya.
Kontribusi Persia
Kontribusi peradaban Persia perlu
disinggung secara khusus mengingat besarnya pengaruh Persia terhadap peradaban
Islam. Kiranya ungkapan Muhammad Iqbal cukup tepat dalam menggambarkan hal ini,
yakni betapa beruntungnya Islam yang berhasil menakhlukkan Persia dan
menjadikannya bagian dari peradaban Islam. Saya pikir ungkapan Iqbal itu tidak
berlebihan melihat bagaimana sejarah Islam pada era keemasannya justru berpusat
di wilayah Persia kuno (seperti Baghdad) dan membawa pengaruh sangat kuat pada
penampakan kebudayaan Islam.
Sebut saja tokoh-tokoh muslim dari
berbagai bidang keilmuan khususnya era keemasan Islam, mayoritas pasti Persia.
Para imam perawi hadits, sebut saja hadits-hadits yang dianggap otoritatif kaum
Sunni yakni kutubussittah, dari ke-6 imam hanya Abu Daud yang orang Arab. Belum
lagi para filsuf, dokter, astronom, matematikawan, sejarawan, juga aneka bidang
kesenian, orang-orang Persia benar-benar mendominasi.
Dalam kesenian musik Arab, nama-nama
seperti ... adalah orang Persia. Bahkan sosok yang dianggap peletak dasar
kesenian musik Andalusia, yakni Ziryab, adalah juga orang Persia yang memilih
undur diri dari Baghdad sebab dianggap menyaingi sang guru yang juga orang
Persia. Ziryab kemudian ke Andalusia dan
karyanya menjadi salah satu peletak dasar seni musik Arab yang pengaruhnya
menyebar luas sampai daratan yang di era modern dikenaldengan Amerika Latin.
Maka itulah, tidak mengherankan jika
dalam seni tilawah Quran yang merupakan persinggungan antara kalam Tuhan dengan
kesenian musik, kontribusi peradaban Persia tak bisa diabaikan. Aneka macam
jenis nagham yang jumlahnya puluhan bahkan ratusan, hingga yang 7 nagham
terpopuler, nyaris semuanya warisan budaya musik Persia. Kecuali tentu saja nagham
Hijaz.
Pro Kontra Nagham Quran
Hubungan Islam dengan berbagai aspek
kesenian sejak awal memang rumit. Apakah itu seni tari, seni rupa, seni suara
atau musik. Islam dikenal ketat dalam ketiga jenis kesenian itu. Berbeda halnya
dengan seni arsitektur yang lebih lentur, sebagaimana banyak ditemui
masjid-masjid yang mengadopsi arsitektur dari kebudayaan non Arab, seperti
keberadaan menara dan kubah.
Dalam seni musik, para imam madzhab
Sunni, mayoritas menyatakan keharamannya. Sementara itu, suara-suara
kebolehannya yang tergolong minor didasarkan pada bahwa pengharaman atas musik
itu tidak pada dirinya, tidak ada nash yang secara jelas mengharamkan musik.
Keharaman musik oleh para imam itu lebih pada atribut yang selama ini menempel
padanya. Misalnya, pertunjukan musik lekat dengan minum-minuman keras,
melalaikan diri dari kewajiban seorang hamba, mengundang kemaksiatan jenis
lain, dan sebagainya.
Adapun dalam pelaguan atau nagham
Quran, para ulama empat madzhab itu berbeda pendapat. Imam Abu Hanifan dan Imam
Syai’i cenderung membolehkan, sementara Imam Malik dan Imam Hanbal cenderung
mengharamkannya. Secara ringkas, argumentasi pembolehannya adalah bahwa Alquran
itu indah dan pembacaan atasnya dengan indah adalah hal yang dianjurkan,
asalkan tidak merusak makna Alquran. Sementara itu, argumen pengharamannya
adalah bahwa pelaguan Alquran punya kecenderungan baik pembaca atau pendengar
lebih fokus pada nada pelaguan dan berefek mengesampingkan pesan Alquran itu
sendiri. Adapun mengenai dalil-dalil keduanya adalah sebagai berikut.
Istilah nagham seringkali
dipersamakan dengan maqam, atau dalam bahasa kita dikenal istilah nyanyian,
lagu, intonasi, kidung, atau langgam. Istilah-istilah itu memang dekat dan
lekat artinya. Namun, justru sebab itulah yang seringkali menimbulkan
kesalahpahaman sehingga terkadang muncul fatwa yang sifatnya gebyah-uyah bahwa
melagukan Alquran adalah haram. Istilah nagham arti dasarnya adalah
membacakan Alquran dengan intonasi tertentu yang menambah keindahannya.
Sementara istilah maqam menunjukkan posisi tertentu dalam intonasi nada
yang berlandaskan alat musik ‘Oud. Jika mengacu pada hadits mengenai “taghanniul
qur’an” yang dianjurkan Nabi, maka maksudnya adalah memperindah bacaan
dengan intonasi tertentu.
Dalil pembolehan:
Hadis
yang diriwayatkan al-Barra bin Azib Raa, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berpesan, “Hiasilah al-Quran dengan suara kalian. (HR. Ahmad
18994, Nasai 1024). Dalam riwayat lain, Rasullullah bersabda "Tidaklah
Allah mendengarkan sesuatu sebagaimana Dia mendengarkan Nabi-Nya membaguskan
bacaan Alquran dan mengeraskan suaranya." (HR Bukhari 7544, Muslim 792).
Kemudian,
hadis dari Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukan bagian dari golonganku, orang-orang
yang tidak melagukan (yataghanna) Alquran” (HR. Abu Daud 1469, Ahmad
1512).
Mengenai
hadits tersebut, Imam Nawawi menyatakan bahwa para ulama salaf maupun generasi
setelahnya, baik kalangan para sahabat maupun para tabiin, dan para ulama dari
berbagai negeri mereka sepakat dianjurkannya memperindah bacaan al-Quran.
(at-Tibyan, hlm. 109). Adapun mengenai kalimat “Siapa yang tidak yataghanna
bil quran” dalam hadits tersebut yakni siapapun yang tidak memperindah suaranya
dalam membaca al-Quran. Dalam hal itu, para ulama juga mengatakan, dianjurkan
memperindah bacaan al-Quran dan membacanya dengan urut. Asalkan tidak sampai
keluar dari batasan cara baca yang benar. Haram hukumnya jika berlebihan sampai
nambahi huruf atau menyembunyikan sebagian huruf. (at-Tibyan, hlm. 110)
Kata yataghanna,
bagi kebanyakan ulama, diartikan sebagai memperindah bacaan. Ibn Jarir Ath-Thabari
berkata, “Yang populer pada perkataan orang Arab, ungkapan taghanni adalah
melagukan, memperindah bacaan dengan berlagu.”
Imam al-Khathtabi
dalam Syarh kitab At-Tauhid min Shahih Al-Bukhori, Al-Ghanimani II/460,
menjelaskan latar belakang dari munculnya hadits tersebut. Baginya, ‘’Orang
Arab sangat gandrung dengan nyanyian pada banyak kesempatan. Saat Alquran
turun, Nabi ingin agar kebiasaan itu digantikan dengan kebiasaan melagukan
Al-Quran. Sehingga, Nabi sampai mengatakan bahwa orang yang tidak melagukan
Alquran, bukan termasuk golongannya.
Sejarah juga
mencatat bahwa Nabi Muhammad sendiri adalah orang pertama yang menyenandungkan
Alquran dengan irama yang indah. Sehingga, Abdullah bin Mughaffal pernah
menggambarkan kemerduan suara Nabi ketika melantunkan surah al-Fath mampu
membuat unta yang beliau tunggangi menjadi terhenyak.
Pada zaman Nabi
SAW, banyak qari Alquran dari kalangan para sahabat yang tergolong mahir, yang
terkenal antara lain adalah Abu Musa al-Asy'ari RA dan Abdullah ibnu Mas'ud RA.
Riwayat populer mengisahkan, ketika Nabi SAW lewat dan mendapati Abu Musa
sedang membaca Alquran, Nabi berhenti mendengarkan bacaan sahabatnya itu.
Beliau pun bersabda, "Sungguh ia (Abu Musa) telah diberi keindahan suara
sebagaimana keindahan suara keturunan Nabi Daud." (HR Bukhari 5048, Muslim
793). Kemudian, ketika di hari lain Abu Musa datang kepada Nabi, Nabi
mengatakan bahwa beliau telah mendengarkan bagusnya bacaan Abu Musa. Abu Musa
pun menimpali, "Andai aku tahu engkau sedang mendengarkan, tentu aku akan
benar-benar memperindah bacaanku."
Mengenai
kemerduan bacaan Abu Musa Al-Asy’ari tersebut, Ibn Jarir juga meriwayatkan dari
Umar bin Al-Khaththab mengenai pelaguan Quran. “Umar berkata kepada Abu Musa
al-Asyari: ingatkanlah diriku akan Allah. Lalu Abu Musa membaca Alquran dan
melagukannya. Umar pun berkata, “Barangsiapa ingin membaca Alquran dengan
berlagu sebagaimana Abu Musa, lakukanlah.” (Zad Al-Maad, 1/466).
Secuplik
dalil-dalil tersebut kiranya cukup kuat menjadi suatu landasan mengenai bukan
semata pembolehannya memperindah bacaan Quran, melainkan bahwa hal itu
dianjurkan. Dan sebab itu, pada era Nabi sampai sahabat, pembacaan Alquran
dengan indah (taghanni, yataghanna) adalah sesuatu yang dianjurkan.
Inilah yang kemudian membuat tradisi nagham Alquran semakin berkembang seiring
perluasan kekuasaan Islam.
Dalil pelarangan:
Adapun ulama yang menolak dan tidak
setuju melagukan bacaan Alquran merupakan ulama yang mayoritas berasal dari
Mazhab Maliki dan Hanbali. Secara ringkas, alasan pelarangan tersebut
dikhawatirkan bakal terjadi penyelewengan atas Alquran, sebab menuruti mode
lagu tertentu rentan menabrak pakem bacaan Alquran. Selain itu, melagukan
Alquran yang cenderung menjadikannya semacam hiburan, meski alasannya adalah
menyebarkan makna Alquran, itu tetap merupakan penghinaan bagi Alquran.
Para ulama yang
tidak setuju melagukan bacaan Alquran merujuk sejumlah dalil dan alasan di
antaranya hadits Nabi Mumamad SAW:
‘’Bacalah Alquran dengan lahn (bacaan,
langgam) orang Arab dan suara mereka. Jauhilah olehmu (melagukan Alquran)
dengan lagunya ahli kitab dan orang fasik. Akan datang setelahku orang-orang
yang akan melagukan Alquran sebagaimana penyanyi berlagu, berdendang dan
berteriak-teriak. Bacaan mereka hanya terhenti di tenggorokan mereka. Hati mereka
terkena fitnah, begitu juga hati yang memuji mereka.”
Nabi Muhammad SAW
juga pernah bersabda mengomentari mereka yang membaca Alquran dengan berlagu:
“Anak-anak muda yang menjadikan Alquran sebagai seruling-seruling (musik) dan
mereka memajukan (menjadikan imam) seseorang agar dia melanggamkan irama
(seperti lagu) padahal dia adalah orang yang paling sedikit ilmunya (pemahaman
agama) diantara mereka”
Selain itu, ada
pendapat yang menyatakan bahwa orang yang berlagu saat membaca Alquran akan
melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kaidah ilmu tajwid seperti
memanjangkan bacaan yang semestinya pendek, melunakkan hamzah yang semestinya
dibaca keras. Padahal, hal ini sangat jelas tidak boleh terjadi Ketika membaca
Al-Quran.
Imam Malik pernah
ditanya tentang hukum orang yang melagukan bacaan Alquran sewaktu sholat.
Beliau menjawab, “Aku tidak menyukainya,” kemudian berkata,
‘’Itulah nyanyian, mereka bernyanyi yang tujuanya mencari uang.” Begitu
juga dengan Imam Ahmad ketika ditanya mengenai hukum melagukan bacaan Alquran.
Beliau menjawab, “itu bidah, tidak boleh didengarkan.”
Ibn Kasir berkata
dalam Fadaa'il al-Qur'an (hal. 114): Intinya adalah bahwa apa yang disyariatkan
dalam ajaran Islam tidak lebih dari memperindah suara sedemikian rupa sehingga
akan mendorong seseorang untuk merenungkan Al-Qur'an dan memahaminya, dan untuk
menjadi rendah hati dan tunduk pada perintah Allah. Adapun bacaan dengan cara
merdu yang dilandaskan pada nada, ritme dan aturan musik yang dikembangkan yang
biasanya digunakan untuk tujuan hiburan, Al-Qur'an harus dilindungi dari itu.
Alquran harus dihormati dan tidak boleh dibacakan dengan cara seperti ini.
Apa yang
dipromosikan oleh sebagian para qari yang membaca Al-Qur'an dengan nada musik,
dengan alasan bahwa ini akan membantu untuk menyampaikan makna dan memberikan
gambaran mental tentang makna, dan menundukkan bacaan pada aturan musik – dan
beberapa dari mereka pergi begitu hingga menuntut agar bacaan merdu ini
disertai dengan alat musik – semua itu menunjukkan penghinaan terhadap Kitab
Allah. Fokus pada nada-nada musik itu pasti akan memengaruhi pengucapan
beberapa kata dan mengalihkan perhatian pendengar dari merenungkan maknanya:
bahkan hal itu dapat menyebabkan perubahan pengucapan sama sekali.
Adapun Syaikh
‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz rahimahullah menyatakan, “Tidak boleh bagi
seorang mukmin membaca Al-Qur’an dengan nada-nada para penyayi. Yang
diperintahkan bagi kita adalah membaca Al-Qur’an seperti yang dibaca oleh para
ulama salafus salih yaitu para sahabat radhiyallahu ‘anhum dan yang
mengikuti mereka. Adapun caranya adalah memperindah bacaan dengan tartil,
meresapi makna Quran dan khusyu’ sampai berpengaruh dalam hati yang
mendengarkan maupun yang membaca. Membaca Al-Qur’an dengan cara yang biasa
dilakukan oleh para penyayi, seperti itu tidaklah dibolehkan.” (Majmu’ Fatawa
wa Maqalat Mutanawwi’ah, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, 9: 290. Dinukil dari
Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab no. 9330).
Kalau dilihat
dari argumentasi pengharaman melagukan Alquran adalah upaya melindungi Alquran
yang suci dari elemen-elemen yang bakal merusaknya, maka kita harus memilah
mengenai apa yang potensial merusak Alquran. Pertama, istilah ghina,
taghanni, dalam Alquran sebagaimana hadits mengenai anjuran taghanniyul
quran tentu bukan menyanyi-nyanyikan Alquran sebagaimana kebiasaan orang
Arab bernyanyi untuk bersenang-senang belaka, khususnya yang erat kaitannya
dengan kemaksiatan. Namun sekedar memperindah bacaan Alquran dengan intonasi
tertentu, asal tidak merusak rambu-rambu bacaan Alquran seperti tajwid. Kedua,
istilah maqamat musik yang kemudian dipinjam menjadi maqamat dalam
membaca Alquran, yang perlu dipahami adalah semata bahwa maqam-maqam tertentu
itu memang dibutuhkan demi menambah nilai tertentu dalam bacaan Alquran.
Misalnya, maqam dengan nada minor tentu sangat tepat jika dipakai
membaca Alquran yang berisi tentang kesedihan, untuk menambah penghayatan
atasnya. Ketiga, kekhawatiran bahwa “mengidungkan” Alquran bakal menodai
kesucian Alquran itu berlebihan, apalagi saat ini nagham-nagham Quran itu sudah
umum dipakai dan disahkan oleh para ulama otoritatif. Kelima, membaca
Alquran dengan langgam tertentu yang belum populer seperti langgam Jawa, maka
harus dihukumi dengan standar yang sama, yakni yang penting tidak menabrak
aturan seperti tajwid, sehingga tidak mengubah makna Alquran.
Nagham Quran, dari Mesir ke Indonesia
Penelusuan Anne K Rasmussen, seorang etnomusikolog
yang juga guru besar College of William and Marry, Virginia, mendapati bahwa
meskipun pelaguan Quran itu dianggap berasal dari zaman Nabi, tetapi sistem
melodius yang digunakan oleh para qari sebenarnya baru diperkenalkan dan secara
formal dilembagakan pada paruh akhir abad XX. Yang artinya, ini sangat
berkaitan erat dengan perkembangan teknologi informasi, baik berupa alat
perekam, radio, televisi, dan sebagainya.
Pelaguan Quran, bagaimanapun, merupakan hasil
persinggungan dari Alquran dengan seni olah suara atau seni musik. Dalam hal
musik, budaya Arab dalam mengenal
istilah maqam (jamak: maqamat), yang di dalamnya mencakup mode
musikal termasuk skala nada, kejelasan intonasi, hubungan interval, dan isyarat
tertentu ketika seorang penampil bermain dalam maqam tertentu. Istilah maqam
ini bukan semata khusus untuk pelaguan Quran semata, melainkan lebih luas
yakni berkaitan dengan mode musik secara umum yang sebarannya membentang dari
Tiongkok hingga Afika Barat melintasi jalur sutera. Istilah maqam ini kemudian
seringkali dicampur-adukkan atau sering disamaartikan dengan nagham.
Memang, banyak
banyak penelusuran akademisi, nyaris tidak ada catatan sejarah yang menjelaskan
perkembangan nagham Alquran setelah era tabi'in. Para akademisi hanya meyakini
bahwa, transformasi seni baca Alquran berlangsung secara sederhana dan
diwariskan turun-temurun, lewat berbagai metode pengajaran, seperti sima’an,
talaqqi, dan sebagainya. Ini seperti yang diungkapkan Abdul Hamid Abdulloh Ketua
Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran (LPTQ) Jawa Timur dalam karya tulis Makna
dan Tujuan MTQ. "Beberapa metode yang digunakan dalam mewariskan ilmu
nagham Alquran dari masa ke masa adalah sima'i (mendengar), talaqqi (menerima
dan mengambil pelajaran lewat bimbingan seorang guru), dan musyahafah"
jelasnya.
Hingga paruh
akhir abad ke-20, baru kemudian Mesir menjadi inspirasi dan menjadi pusat lahir
dan berkembangnya budaya maqamat Alquran. Di samping itu, Mesir juga
menempatkan dirinya sebagai saringan yang memisahkan antara musik dan qiraah
maqamat nagham Alquran. M Husni Thamrin dalam tesisnya yang berjudul Nagham
Alquran: Telaah atas Kemunculan dan Perkembangannya di Indonesia, menjelaskan
bahwa qari-qari yang lahir di Mesir, seperti Syekh Muhammad Rif'at (1882-
1950), Syekh Mustafa Ismail (1905-1978), dan Syekh Abdul Basit Abdul-Samad
(1927-1988) mampu menunjukkan bahwa nagham adalah nyawa dari bacaan Alquran.
Dalam hal itu,
Anne K Rasmussen juga menyatakan bahwa Mesir yang pada mulanya menjadi
representasi sistem maqam dalam kawasan Masyriq yang meliputi Palestina,
Lebanon, Syuriah, Irak, dan sebagainya, seiring perkembangan teknologi
informasi meluber ke berbagai penjuru, salah satunya Indonesia. Wawancara
Rasmussen atas seorang qari dan guru Alquran dari Medan, Yusnar Yusuf yang
menceritakan dirinya dalam proses pengenalan dan pembelajarannya mengenai nagham
Quran dari Mesir lewat radio, membuktikan arti penting media massa sebagai
wahana yang sangat penting. Jika dulu proses transmisi lisan itu hanya bisa
dilakukan dengan tatap muka, kini hal itu bisa ditemput lewat madia massa
(radio) dan piringan hitam. Dengan radiolah, para pembelajar qiraah di
Indonesia bisa langsung mengakses pada qari asing yang kemudian berakar kuat di
Indonesia.
Mesir memang
mulanya adalah representasi sistem maqam bagi kawasan Masyriq. Dulu memang
dikenal pembedaan Masyriq, Maghrib, atau Teluk Arab, namun semakin tidak jelas
pemilahannya setelah abad ke-20. Namun, proses transmisi qiraah Mesir yang
“Masyriq” ke Indonesia itulah yang membuat Indonesia mengenal aneka macam maqam
Masyriq: Rast, Bayyati, Hejaz, Nahawand, Nakriz, Nawa Athar, Sikah, Huzam,
Jiharkah, dan Ajam. Namun dalam prosesnya, Asia Tenggara khususnya Indonesia
menyaring aneka maqam tadi menjadi tujuh maqam atau dikenal dengan qira’ah
sab’ah, meskipun sebenarnya yang dimaksud kadang rancu dengan qira’ah
sab’ah sebagaimana hadis Nabi yang populer mengenai Alquran yang diturunkan
dalam tujuh huruf itu.
Pengalaman saya pribadi waktu mengenai
bagaimana radio membawa aneka model qiraah Mesir ke pelosok desa saya di Jawa,
di sini menemukan Jawabannya. Bahwa model pembacaan Quran yang menurut saya
bagus dan lebih Islami itu, rupanya melewati rangkaian proses yang panjang
dalam sejarah. Dan ketika saya kontraskan dengan pembacaan imam langgar kampung
yang kemudian baru saya kenali sebagai pembacaan langgam Jawa itu yang waktu
itu saya anggap kurang Islami, rupanya sebenarnya hanya “kurang Arabi”. Dan
yang “kurang Arabi” itu memang terkadang membawa persoalan tersendiri mengenai
kekhawatiran akan keterpelesetan pengkidungan Alquran, sebab bagaimanapun
Alquran berbahasa Arab yang sejak kehadirannya di bumi Arab abad ke-7 Masehi
sudah langsung melekat dengan bahasa/budaya Arab. Meskipun begitu, pembacaan
Alquran langgam Jawa menawarkan semacam “emosi musikal” yang bagi saya pribadi
menjadikan Alquran punya kedekatan dengan diri saya yang terlahir dan hidup di
alam Jawa.
Comments
Post a Comment