Langgam Peradaban Quran

 Oleh: Taufiq Ahmad

Contradixie, Esai – Salah satu kenangan yang sangat membekas waktu kecil ketika ketika jama’ah salat magrib di langgar kampung adalah bacaan sang imam yang terdengar sangat khas. Mirip gending-gending Jawa yang sesekali saya dengar dari nenek. Ini sungguh berbeda dengan nada qiraah yang saya dengar di radio-radio. Entah kenapa, seiring remaja ketika semakin banyak mengaji, apalagi sempat ikut ngaji qira’ah, saya merasa yang di radio-radio itu lebih islami. Sementara itu, nada mbah imam langgar itu masih terlalu Jawa sehingga di mata saya kurang Islami.

Beranjak dewasa, saya semakin jarang menemukan nada baca Alquran yang seperti yang dilantunkan mbah imam langgar itu. Apalagi ketika merantau ke kota, baik Surabaya atau Jakarta, di masjid-masjid besar biasanya bacaannya bagus-bagus, alias lebih mirip radio. Sementara itu, di banyak masjid kecil atau di musolla kampung di perkotaan, saya sering menjumpai bacaan Quran yang masih tidak beres tajwidnya, yang membuat saya bahkan jadi ragu untuk melanjutkan solat bermakmum dia atau mufaraqah.

Ketika saya ke kota Jogja, soal tajwid rupanya tidak lebih baik. Kecuali tentu saja di masjid-masjid besarnya, yang biasanya bacaan sang imam bagus-bagus alias mirip radio. Namun, suatu kali di masjid kampung pinggiran kota ketika ikut solat jumat di sela-sela aktivitas ngopi, saya menemui bacaan ayat suci yang pelan-pelan menyeret ingatan pada kiai kampung yang jadi imam di langgar kampung waktu kecil. Pada momen itu tak terasa air mata saya perlahan menetes. Suasana jadi terasa lebih syahdu. Kerinduan suasana itu yang membuat saya saya ke masjid itu kembali pada jumat berikutnya. Tapi rupanya imamnya sudah berbeda. Dan berkali-kali saya jumatan ke masjid itu tapi imam itu seperti tak pernah kembali.

Pada saat yang lain, tersiar suatu berita yang berkaitan dengan pembacaan ayat suci Quran dengan langgam Jawa, yakni oleh seorang qori Muhammad Yasser Arafat pada peringatan Isra Miraj di Istana Negara, Jumat 15 Mei 2015. Peristiwa itu menjadi pemantik perdebatan di berbagai media massa, yang dari itu membuat saya jadi ikut belajar bukan semata soal halal-haramnya belaka, melainkan bahwa rupanya dalam urusan qiraah memang membentang sejarah yang panjang mengenai perjumpaan Islam dengan berbagai kebudayaan. Dan saya baru tahu, bahwa bahkan berbagai variasi qira’ah yang saya dengarkan di radio atau diajarkan ustad waktu saya mengaji qira’ah rupanya juga bukan “murni” dari tanah Arab sebagaimana persangkaan saya. Ini mirip belaka dengan arsitektural masjid, baik dari sisi kubah, menara, dan sebagainya, yang merupakan hasil dari perjumpaan antar budaya, bukan murni dari Arab. Sehingga, untuk urusan pembacaan Alquran dengan langgam Jawa itu, saya bisa mempertanyakan khususnya pikiran saya sendiri, mengapa “langgam Jawa” saya anggap kurang islami dibanding langgam-langgam lain yang sudah “pakem” dalam qira’ah, padahal sama-sama berasal dari tradisi atau kebudayaan “asing”.

Atas hal tersebut, saya merasa perlu membuat catatan ringkas untuk berbagi mengenai hasil penelusuran saya atas proses perjumpaan budaya sebagaimana di atas, khususnya yang berkaitan dengan qira’ah Alquran. Sebelumnya, saya perlu berterima kasih pada orang-orang yang mendukung saya, khususnya Bung Suryo yang membuka jalan kajian ini, guru kehidupan saya Mas Irfan Afifi, Saifullah “Ipung” dan Aditya “Pakde” sebagai partner diskusi, dan mas Aria Langgar yang banyak menyumbangkan gagasan berikut referensi dalam kajian ini.

Langgam Peradaban

Pergumulan Alquran sebagai kalamullah dengan berbagai jenis kebudayaan adalah suatu keniscayaan sejarah. Dalam kajian akademis, Alquran seringkali ditinjau dari dua aspek, yakni informatif dan performatif. Aspek informatif ini melahirkan aneka tafsir dan penerjemahan, sementara aspek performatif memunculkan aneka ragam kesenian Alquran. Di antara ragam kesenian yang paling menonjol ada dua, yakni dalam ranah seni tulis dan seni rupa muncul seni kaligrafi Alquran dan dalam ranah seni olah suara muncul seni tilawah Alquran.

Kedua kemunculan ragam “seni Alquran” itu nampak mengalami nasib yang berbeda. Jika seni kaligrafi Alquran relatif mulus alias minim kontroversi, seni qiraah atau nagham Alquran bermunculan pro kontra. Apalagi jika dalam pertunjukan seni qiraah Quran itu memakai atribut yang dianggap belum populer, seperti membaca Alquran langgam Jawa yang dilangsungkan oleh Istana Negara dalam perayaan Isra Miraj (2012) di atas. Wajar jika menimbulkan pro kontra yang cukup sengit. Namun, perdebatan mengenai nagham Quran itu punya dampak positifnya, setidaknya kita bisa mengkaji kembali dan memahami proses panjang historisitas penyebaran Alquran itu sendiri.

Kajian akademis mengenai pergumulan Alquran dengan kebudayaan secara umum pernah menjadi suatu perdebatan yang keras di kalangan umat Islam, yaitu yang pernah dikonsepsikan oleh Nasir Hamid Abu Zayd. Nasir menyatakan bahwa Alquran, selain merupakan produsen budaya, juga merupakan produk kebudayaan. Istilah Alquran sebagai produk kebudayaan inilah yang membuat Nasir dituduh menghina kalam Tuhan. Kalau menengok sejarah, perdebatan mengenai Alquran pernah mengeras pada era Abbasiyah, khususnya pada era Al-Makmun yang sampai melakukan “mihnah”, yakni antara golongan penguasa yang mengikuti pendapat golongan Mu’tazilah dengan keyakinan Alquran sebagai makhluk Allah versus para ulama yang bersikukuh bahwa Alquran adalah kalamullah. Dilihat dari situ, istilah “produk kebudayaan” dianggap jauh lebih “ekstrim” daripada “makhluk Allah” yang diyakini kaum Mu’tazilah itu.

Namun, yang patut dipahami dari konsepsi Nasir tersebut adalah keniscayaan bahwa kalamullah mengalami pergumulan pertama kali dengan bahasa/budaya Arab tak bisa dibantah, sehingga pemisahan—jika pun itu diperlukan—mengenai mana yang budaya Arab dan mana yang kalamullah menjadi sesuatu yang membutuhkan kajian yang panjang. Yang artinya, kemelekatan budaya pada Alquran adalah keniscayaan sejarah.

Dalam sejarah, penyebaran Alquran berlangsung massif sejak era penakhlukan besar-besaran bangsa Arab terhadap dunia luar pasca Nabi memantapkan daulahnya di Madinah dan berhasil menguasai daratan semenanjung Arabia, lalu dilanjut era khulafaurrasyidun yang dilanjut era dinasti Umayyah dan Abbasiyah.

Era Umar bin Khattab tercatat sebagai era paling luas penakhlukannya, sehingga mampu menggerogiti kekuasaan Romawi di bagian barat dan mengakhiri kekuasaan Persia dibagian timur. Seiring penakhlukan itulah Alquran menyebar dalam dua aspek, yakni aspek tulisan dan lisan. Dalam aspek tulisan, kita mengenal bahwa jenis khat awal penulisan Alquran disebut khat Kufi, jauh sebelum munculnya khat naskhi yang marak seperti sekarang. Kata Kufi dinisbatkan dari kota Kufah, kota yang masalalunya adalah bagian dari kebudayaan Persia, yang kemudian seiring masuknya Islam, kota itu menjadi pusat pemerintahan khalifah Ali.

Namun, penyebaran Alquran pada masa awal lebih condong lewat medium penuturan lisan, bukan lewat tulisan. Sebab itulah, ketika Islam menyebar, aneka langgam yang ada pada wilayah takhlukan itu sangat mempengaruhi bagaimana karakter pembacaan Alquran, yang saat ini dikenal dengan nagham Quran. Aneka tradisi atau kesenian olah suara atau seni musik warisan peradaban Persia yang berlangsung dalam berbagai suku atau kabilah, ketika mengalami penakhlukan Islam, lalu secara alamiah sangat mempengaruhi intonasi dalam membaca Alquran. Ini berlaku juga dengan wilayah peradaban lain tentu saja. Itulah yang membuat kita mewarisi aneka macam nagham Quran yang sangat kaya.

Dr. Basyar Awad Ma’ruf dalam bukunya Al-Bayan Fi Hukm At-Taghani Bi Al-Qur’an, menukil karya Ibnu Manzur dalam Lisanul ‘Arab, menjelaskan 2 teori mengenai asal mula munculnya nagham al-Qur’an. Pertama, dinyatakan bahwa sumber nagham al-Qur’an berasal dari ghina atau nyanyian yang turun temurun dilantunkan oleh bangsa Arab. Kedua, nagham terinspirasi dari nyanyian budak-budak kafir yang menjadi tawanan perang.

Sebenarnya, kedua teori tersebut sama-sama bisa dibenarkan, dalam arti bahwa baik bangsa Arab pra Islam yang juga dikenal suka menyanyi, punya sumbangsih dalam nagham Quran. Hal ini persis sebagaimana keterangan Imam al-Khathtabi yang menjelaskan latar belakang dari munculnya hadits: laisa minna, man lam yataghannal qur’an, tidak termasuk golongan kami orang-orang yang tidak melagukan Quran. Imam al-Khaththabi berkata menjelaskan bahwa orang Arab sangat ganderung dengan nyanyian.Mereka bernyanyi pada banyak kesempatan. Sehingga pada saat Alquran turun, Nabi menginginkan agar kebiasaan itu diganti dengan kebiasaan melagukan Al-Quran. (Syarh kitab At-Tauhid min Shahih Al-Bukhori, Al-Ghanimani II/460).

Adapun teori kedua yakni nagham itu berasal dari nyanyian budak-budak kafir yang jadi tawanan perang juga ikut andil dalam menyumbangkan aneka ragam nagham Quran. Yang paling menonjol misalnya banyak sekali nama-nama nagham yang berasal dari bahasa non-Arab, khususnya Persia. Misalnya nagham Nahawand, Rast, Ajam, Jiharkah, dan sebagainya. Nahawand adalah nama kota Persia yang menjadi basis pertahanan pasukan kekaisaran Sasania di bawah pimpinan Peroz Khosrau, yang kemudian berhasil ditakhlukkan kaum muslim pada era Khalifah Umar. Kota-kota Persia lain kemudian menyusul berjatuhan di tangan Islam, seperti Isfahan.

Efek dari penakhlukan tersebut adalah pasukan Islam mendapati banyak tawanan kaum kafir yang bisa dijadikan budak. Nah, para budak kafir tawanan perang inilah ketika mereka masuk Islam, tradisi (khususnya nyanyian) mereka dengan sendirinya membawa pengaruh dalam pembacaan Alquran. Dalam hal ini, penakhlukan atas wilayah kekaisaran Persia membawa pengaruh yang sangat luas terhadap model pembacaan Alquran. Atas dasar hal ini pula, demi alasan mensucikan Alquran dari penyelewengan-penyelewengan pembacaan oleh orang-orang non-Arab, sehingga beberapa ulama mengharamkannya.

Nagham Era Awal Islam

Dalam kitab ‘Iqd al-Farîd, Ibn ‘Abd Rabbihi, menyatakan asal-muasal musik Arab pra-Islam dapat dilacak pada tradisi para budak di pasar-pasar kota Arab seperti Madinah, Thaif, Khaibar, Wadi al-Qura dan sebagainya. Di kota-kota itu, keberadaan “qaynah”, yakni penyanyi wanita sekaligus budak, yang bertugas menghibur para tamu dengan nyanyian, anggur dan tentu saja erotisme. Eksistensi para penyanyi itu bahkan turut memberikan kontribusi besar bagi perkembangan perdagangan budak di beberapa pasar kota-kota Arab terkenal seperti Madinah, Ta’if dan Okaz.

Okaz bahkan terkenal sebagai pasar yang menjadi tempat bagi penyelenggaraan festival kesenian pribumi paling bergengsi era itu, dimana syair dan musik dari berbagai belahan jazirah Arab dipertunjukkan. Sampai sekarang kita mewarisi syair-syair pemenang dalam festival seni Okaz era Jahiliyah tersebut, yang dikenal dengan al-mu’allaqat. Kata al-mu’allaqat itu mengacu pada syair-syair pemenang ditulis dengan tinta emas dan digantungkan di dinding ka’bah.

Dalam hal itu, musik memang dianggap semacam atribut belaka dari syair, sehingga pelacakannya jauh lebih rumit. Namun, yang tak bisa disangkal adalah bahwa musik Arab pra Islam erat kaitannya dengan syair atau puisi. Keduanya seringkali dimainkan secara bersamaan, dimana musik mengiringi sang penyair melantunkan syairnya dengan berbagai tujuan, seperti pemujaan kesatriaan dan kesetiaan terhadap klan, merayakan kemenangan, atau sekedar mengisi waktu luang.

Pertalian erat tersebut nampak dalam komposisi puisi tidak akan berhasil jika tidak mengikuti pola-pola musikal dalam bait-baitnya, sementara lagu (ghina’) atau modus musik (nagham) sangat bergantung pada aneka jenis atau bentuk puisi. Dalam tradisi kesusastraan Arab, irama musik senantiasa merasuki puisi dan menyisipkan dimensi baru sehingga melampaui budaya kefasihan. Dalam hal ini kita bisa merasakan keindahan tersendiri jika ayat-ayat suci Alquran dibacakan dengan nagham tertentu, daripada sekedar tartil. Atau, kita bisa mendapati keindahan yang lebih jika suatu puisi dideklamasikan dengan intonasi tertentu daripada sekedar dibaca fasih huruf-hurufnya atau titik komanya.

Jika kemudian Alquran hadir pada bangsa Arab, sementara itu jika diteliti, banyak surat-surat dalam Alquran yang nampak mengikuti ritme tertentu seperti ritme musik, maka adalah merupakan suatu kewajaran jika dikatakan bahwa sejak dari Nabi sendiri Alquran dibacakan dengan nagham tertentu. Apalagi Nabi sudah pasti sangat menghayati Alquran. Hanya saya kita kesulitan melacak jenis apa dari nagham-nagham yang ada itu yang sering dipakai Nabi.

Berbagai informasi yang berasal dari hadits-hadits Nabi atau catatan sejarah, kita hanya mengetahui bahwa nabi melagukan (taghanni) Alquran dengan merdu, dan beliau menganjurkan agar memperindah bacaan quran. Begitu pula beberapa sahabat Nabi, seperti Abu Musa Al-Asy’ari yang oleh Nabi dikatakan sebagai orang yang dianugerahi suara seruling Nabi Daud. Ketika Nabi wafat, para sahabat yang menyebar mengajarkan Alquran ke berbagai tempat. Seperti Abu Musa yang bermukim di Basrah, Ibnu Mas’ud di Kufah, Abu Darda’ di Syam. Dari persebaran itu kemudian saat ini kita mengenal istilah qira’ah sab’ah. Dan, istilah ini mendapat legitimasi dari hadits Nabi yang berbunyi, bahwa Jibril berkata pada Nabi “Wahai Muhammad, sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan atas tujuh huruf”.

Nabi Menggunakan Maqam Jiharkah?

Ada banyak informasi spekulatif mengenai Nabi Muhammad yang sering membaca Alquran khususnya Surat Al-Fatihah ketika menjadi imam salat  dengan menggunakan maqam jiharkah/jaharkah, beberapa mengatakan menggunakan maqam sikah. Misalnya dalam ceramah Ustad Abdul Somad, seorang da’i populer di Nusantara, yang menyatakan bahwa dia telah membaca kitab Tarannum Alquran yang ditulis ulama Syuriah, yang menyatakan bahwa Nabi SAW menggunakan maqam Jiharkah dalam mengaji Alquran.

Namun, saya tidak menemukan bukti yang valid mengenai informasi tersebut. Yang benar-benar valid hanya bahwa Nabi sering membaca Alquran dengan merdu, dan menganjurkan membaca Alquran dengan indah, dan mengapresiasi para sahabat yang melantunkan Alquran dengan merdu. Namun, jika dilacak mengenai maqam apa yang digunakan Nabi, tidak pernah jelas.

Mengenai maqam jiharkah atau jaharkah, secara bahasa, jaharkah adalah istilah non-Arab. Adapun dalam pengelompokan maqamat yang populer, jaharkah digolongkan sebagai bagian dari maqam Ajam. Ajam dalam hal ini biasanya merujuk pada Persia. Dan, ketika “telinga ‘Ajam” saya ketika mendengarkan bacaan qari’ dengan langgam jiharkah, memang terasa betul bukan semata keindahan melainkan keakrabannya, sangat mirip dengan orang Jawa menggending, sehingga secara emosional saya berkesimpulan memang seharusnya Alquran dibaca semerdu ini. Tetapi perasaan emosional itu dalam kajian ilmiah harus disimpan terlebih dahulu.

Jaharkah, jika dilacak secara kebahasaan memang berasal dari bahasa Persia. Serumpun dengan kata Dokah, Sikah, Banjakah, dan seterusnya. Kata Dokah berasal dari doh-gah yang artinya level kedua. Sikah berasal dari seh-gah, level ketiga. Jaharkah berasal dari chahar-gah, level keempat. Lalu Banjakah berasal dari “Panj-kah” alias level kelima. Hitungan bahasa Persia kuno tersebut memang seakar dengan bahasa Sanskerta, yang juga merasuk di Nusantara, seperti hitungan dwi, tri, catur, panca, dan seterusnya.

Namun, tetap saja ada kemungkinan mengenai maqam jiharkah dipakai Nabi dalam membaca Alquran. Hal itu mengingat pengaruh tradisi berlagu dari orang-orang Persia yang sejak zaman pra Islam sudah merasuki masyarakat Arab. Ini terlihat dari istilah “ghina” yang artinya lagu, merupakan kosakata yang dengat dengan “khuniya” dalam bahasa Persia yang artinya juga sama: lagu. Tetapi, itu hanya bukti lamat-lamat saja, dan sulit dijadikan kesimpulan bahwa Nabi memakai maqam Jiharkah.

Lemahnya bukti yang ada membuat saya pribadi berspekulasi bahwa asumsi tersebut hadir justru karena pengaruh kuat dari tradisi musik Persia yang melebur dalam kebudayaan Islam, khususnya pada era Bani Abbasiyah, di mana banyak teoritisi musik terlahir yang kebanyakan adalah orang Persia. Untuk itu, kita perlu membahas kontribusi Persia di sini, tanpa mengesampingkan kontribusi bermusik lainnya.

Kontribusi Persia

Kontribusi peradaban Persia perlu disinggung secara khusus mengingat besarnya pengaruh Persia terhadap peradaban Islam. Kiranya ungkapan Muhammad Iqbal cukup tepat dalam menggambarkan hal ini, yakni betapa beruntungnya Islam yang berhasil menakhlukkan Persia dan menjadikannya bagian dari peradaban Islam. Saya pikir ungkapan Iqbal itu tidak berlebihan melihat bagaimana sejarah Islam pada era keemasannya justru berpusat di wilayah Persia kuno (seperti Baghdad) dan membawa pengaruh sangat kuat pada penampakan kebudayaan Islam.

Sebut saja tokoh-tokoh muslim dari berbagai bidang keilmuan khususnya era keemasan Islam, mayoritas pasti Persia. Para imam perawi hadits, sebut saja hadits-hadits yang dianggap otoritatif kaum Sunni yakni kutubussittah, dari ke-6 imam hanya Abu Daud yang orang Arab. Belum lagi para filsuf, dokter, astronom, matematikawan, sejarawan, juga aneka bidang kesenian, orang-orang Persia benar-benar mendominasi.

Dalam kesenian musik Arab, nama-nama seperti ... adalah orang Persia. Bahkan sosok yang dianggap peletak dasar kesenian musik Andalusia, yakni Ziryab, adalah juga orang Persia yang memilih undur diri dari Baghdad sebab dianggap menyaingi sang guru yang juga orang Persia. Ziryab kemudian ke  Andalusia dan karyanya menjadi salah satu peletak dasar seni musik Arab yang pengaruhnya menyebar luas sampai daratan yang di era modern dikenaldengan Amerika Latin.

Maka itulah, tidak mengherankan jika dalam seni tilawah Quran yang merupakan persinggungan antara kalam Tuhan dengan kesenian musik, kontribusi peradaban Persia tak bisa diabaikan. Aneka macam jenis nagham yang jumlahnya puluhan bahkan ratusan, hingga yang 7 nagham terpopuler, nyaris semuanya warisan budaya musik Persia. Kecuali tentu saja nagham Hijaz.

Pro Kontra Nagham Quran

Hubungan Islam dengan berbagai aspek kesenian sejak awal memang rumit. Apakah itu seni tari, seni rupa, seni suara atau musik. Islam dikenal ketat dalam ketiga jenis kesenian itu. Berbeda halnya dengan seni arsitektur yang lebih lentur, sebagaimana banyak ditemui masjid-masjid yang mengadopsi arsitektur dari kebudayaan non Arab, seperti keberadaan menara dan kubah.

Dalam seni musik, para imam madzhab Sunni, mayoritas menyatakan keharamannya. Sementara itu, suara-suara kebolehannya yang tergolong minor didasarkan pada bahwa pengharaman atas musik itu tidak pada dirinya, tidak ada nash yang secara jelas mengharamkan musik. Keharaman musik oleh para imam itu lebih pada atribut yang selama ini menempel padanya. Misalnya, pertunjukan musik lekat dengan minum-minuman keras, melalaikan diri dari kewajiban seorang hamba, mengundang kemaksiatan jenis lain, dan sebagainya.

Adapun dalam pelaguan atau nagham Quran, para ulama empat madzhab itu berbeda pendapat. Imam Abu Hanifan dan Imam Syai’i cenderung membolehkan, sementara Imam Malik dan Imam Hanbal cenderung mengharamkannya. Secara ringkas, argumentasi pembolehannya adalah bahwa Alquran itu indah dan pembacaan atasnya dengan indah adalah hal yang dianjurkan, asalkan tidak merusak makna Alquran. Sementara itu, argumen pengharamannya adalah bahwa pelaguan Alquran punya kecenderungan baik pembaca atau pendengar lebih fokus pada nada pelaguan dan berefek mengesampingkan pesan Alquran itu sendiri. Adapun mengenai dalil-dalil keduanya adalah sebagai berikut.

Istilah nagham seringkali dipersamakan dengan maqam, atau dalam bahasa kita dikenal istilah nyanyian, lagu, intonasi, kidung, atau langgam. Istilah-istilah itu memang dekat dan lekat artinya. Namun, justru sebab itulah yang seringkali menimbulkan kesalahpahaman sehingga terkadang muncul fatwa yang sifatnya gebyah-uyah bahwa melagukan Alquran adalah haram. Istilah nagham arti dasarnya adalah membacakan Alquran dengan intonasi tertentu yang menambah keindahannya. Sementara istilah maqam menunjukkan posisi tertentu dalam intonasi nada yang berlandaskan alat musik ‘Oud. Jika mengacu pada hadits mengenai “taghanniul qur’an” yang dianjurkan Nabi, maka maksudnya adalah memperindah bacaan dengan intonasi tertentu.

Dalil pembolehan:

Hadis yang diriwayatkan al-Barra bin Azib Raa, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan, “Hiasilah al-Quran dengan suara kalian. (HR. Ahmad 18994, Nasai 1024). Dalam riwayat lain, Rasullullah bersabda "Tidaklah Allah mendengarkan sesuatu sebagaimana Dia mendengarkan Nabi-Nya membaguskan bacaan Alquran dan mengeraskan suaranya." (HR Bukhari 7544, Muslim 792).

Kemudian, hadis dari Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  “Bukan bagian dari golonganku, orang-orang yang tidak melagukan (yataghanna) Alquran” (HR. Abu Daud 1469, Ahmad 1512).

Mengenai hadits tersebut, Imam Nawawi menyatakan bahwa para ulama salaf maupun generasi setelahnya, baik kalangan para sahabat maupun para tabiin, dan para ulama dari berbagai negeri mereka sepakat dianjurkannya memperindah bacaan al-Quran. (at-Tibyan, hlm. 109). Adapun mengenai kalimat “Siapa yang tidak yataghanna bil quran” dalam hadits tersebut yakni siapapun yang tidak memperindah suaranya dalam membaca al-Quran. Dalam hal itu, para ulama juga mengatakan, dianjurkan memperindah bacaan al-Quran dan membacanya dengan urut. Asalkan tidak sampai keluar dari batasan cara baca yang benar. Haram hukumnya jika berlebihan sampai nambahi huruf atau menyembunyikan sebagian huruf. (at-Tibyan, hlm. 110)

Kata yataghanna, bagi kebanyakan ulama, diartikan sebagai memperindah bacaan. Ibn Jarir Ath-Thabari berkata, “Yang populer pada perkataan orang Arab, ungkapan taghanni adalah melagukan, memperindah bacaan dengan berlagu.”

Imam al-Khathtabi dalam Syarh kitab At-Tauhid min Shahih Al-Bukhori, Al-Ghanimani II/460, menjelaskan latar belakang dari munculnya hadits tersebut. Baginya, ‘’Orang Arab sangat gandrung dengan nyanyian pada banyak kesempatan. Saat Alquran turun, Nabi ingin agar kebiasaan itu digantikan dengan kebiasaan melagukan Al-Quran. Sehingga, Nabi sampai mengatakan bahwa orang yang tidak melagukan Alquran, bukan termasuk golongannya.

Sejarah juga mencatat bahwa Nabi Muhammad sendiri adalah orang pertama yang menyenandungkan Alquran dengan irama yang indah. Sehingga, Abdullah bin Mughaffal pernah menggambarkan kemerduan suara Nabi ketika melantunkan surah al-Fath mampu membuat unta yang beliau tunggangi menjadi terhenyak.

Pada zaman Nabi SAW, banyak qari Alquran dari kalangan para sahabat yang tergolong mahir, yang terkenal antara lain adalah Abu Musa al-Asy'ari RA dan Abdullah ibnu Mas'ud RA. Riwayat populer mengisahkan, ketika Nabi SAW lewat dan mendapati Abu Musa sedang membaca Alquran, Nabi berhenti mendengarkan bacaan sahabatnya itu. Beliau pun bersabda, "Sungguh ia (Abu Musa) telah diberi keindahan suara sebagaimana keindahan suara keturunan Nabi Daud." (HR Bukhari 5048, Muslim 793). Kemudian, ketika di hari lain Abu Musa datang kepada Nabi, Nabi mengatakan bahwa beliau telah mendengarkan bagusnya bacaan Abu Musa. Abu Musa pun menimpali, "Andai aku tahu engkau sedang mendengarkan, tentu aku akan benar-benar memperindah bacaanku."

Mengenai kemerduan bacaan Abu Musa Al-Asy’ari tersebut, Ibn Jarir juga meriwayatkan dari Umar bin Al-Khaththab mengenai pelaguan Quran. “Umar berkata kepada Abu Musa al-Asyari: ingatkanlah diriku akan Allah. Lalu Abu Musa membaca Alquran dan melagukannya. Umar pun berkata, “Barangsiapa ingin membaca Alquran dengan berlagu sebagaimana Abu Musa, lakukanlah. (Zad Al-Maad, 1/466).

Secuplik dalil-dalil tersebut kiranya cukup kuat menjadi suatu landasan mengenai bukan semata pembolehannya memperindah bacaan Quran, melainkan bahwa hal itu dianjurkan. Dan sebab itu, pada era Nabi sampai sahabat, pembacaan Alquran dengan indah (taghanni, yataghanna) adalah sesuatu yang dianjurkan. Inilah yang kemudian membuat tradisi nagham Alquran semakin berkembang seiring perluasan kekuasaan Islam.

Dalil pelarangan:

Adapun ulama yang menolak dan tidak setuju melagukan bacaan Alquran merupakan ulama yang mayoritas berasal dari Mazhab Maliki dan Hanbali. Secara ringkas, alasan pelarangan tersebut dikhawatirkan bakal terjadi penyelewengan atas Alquran, sebab menuruti mode lagu tertentu rentan menabrak pakem bacaan Alquran. Selain itu, melagukan Alquran yang cenderung menjadikannya semacam hiburan, meski alasannya adalah menyebarkan makna Alquran, itu tetap merupakan penghinaan bagi Alquran.

Para ulama yang tidak setuju melagukan bacaan Alquran merujuk sejumlah dalil dan alasan di antaranya hadits Nabi Mumamad SAW:

 ‘’Bacalah Alquran dengan lahn (bacaan, langgam) orang Arab dan suara mereka. Jauhilah olehmu (melagukan Alquran) dengan lagunya ahli kitab dan orang fasik. Akan datang setelahku orang-orang yang akan melagukan Alquran sebagaimana penyanyi berlagu, berdendang dan berteriak-teriak. Bacaan mereka hanya terhenti di tenggorokan mereka. Hati mereka terkena fitnah, begitu juga hati yang memuji mereka.

Nabi Muhammad SAW juga pernah bersabda mengomentari mereka yang membaca Alquran dengan berlagu: “Anak-anak muda yang menjadikan Alquran sebagai seruling-seruling (musik) dan mereka memajukan (menjadikan imam) seseorang agar dia melanggamkan irama (seperti lagu) padahal dia adalah orang yang paling sedikit ilmunya (pemahaman agama) diantara mereka”

Selain itu, ada pendapat yang menyatakan bahwa orang yang berlagu saat membaca Alquran akan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kaidah ilmu tajwid seperti memanjangkan bacaan yang semestinya pendek, melunakkan hamzah yang semestinya dibaca keras. Padahal, hal ini sangat jelas tidak boleh terjadi Ketika membaca Al-Quran.

Imam Malik pernah ditanya tentang hukum orang yang melagukan bacaan Alquran sewaktu sholat. Beliau menjawab,Aku tidak menyukainya, kemudian berkata, ‘’Itulah nyanyian, mereka bernyanyi yang tujuanya mencari uang.Begitu juga dengan Imam Ahmad ketika ditanya mengenai hukum melagukan bacaan Alquran. Beliau menjawab, “itu bidah, tidak boleh didengarkan.”

Ibn Kasir berkata dalam Fadaa'il al-Qur'an (hal. 114): Intinya adalah bahwa apa yang disyariatkan dalam ajaran Islam tidak lebih dari memperindah suara sedemikian rupa sehingga akan mendorong seseorang untuk merenungkan Al-Qur'an dan memahaminya, dan untuk menjadi rendah hati dan tunduk pada perintah Allah. Adapun bacaan dengan cara merdu yang dilandaskan pada nada, ritme dan aturan musik yang dikembangkan yang biasanya digunakan untuk tujuan hiburan, Al-Qur'an harus dilindungi dari itu. Alquran harus dihormati dan tidak boleh dibacakan dengan cara seperti ini.

Apa yang dipromosikan oleh sebagian para qari yang membaca Al-Qur'an dengan nada musik, dengan alasan bahwa ini akan membantu untuk menyampaikan makna dan memberikan gambaran mental tentang makna, dan menundukkan bacaan pada aturan musik – dan beberapa dari mereka pergi begitu hingga menuntut agar bacaan merdu ini disertai dengan alat musik – semua itu menunjukkan penghinaan terhadap Kitab Allah. Fokus pada nada-nada musik itu pasti akan memengaruhi pengucapan beberapa kata dan mengalihkan perhatian pendengar dari merenungkan maknanya: bahkan hal itu dapat menyebabkan perubahan pengucapan sama sekali.

Adapun Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz rahimahullah menyatakan, “Tidak boleh bagi seorang mukmin membaca Al-Qur’an dengan nada-nada para penyayi. Yang diperintahkan bagi kita adalah membaca Al-Qur’an seperti yang dibaca oleh para ulama salafus salih yaitu para sahabat radhiyallahu ‘anhum dan yang mengikuti mereka. Adapun caranya adalah memperindah bacaan dengan tartil, meresapi makna Quran dan khusyu’ sampai berpengaruh dalam hati yang mendengarkan maupun yang membaca. Membaca Al-Qur’an dengan cara yang biasa dilakukan oleh para penyayi, seperti itu tidaklah dibolehkan.” (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, 9: 290. Dinukil dari Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab no. 9330).

Kalau dilihat dari argumentasi pengharaman melagukan Alquran adalah upaya melindungi Alquran yang suci dari elemen-elemen yang bakal merusaknya, maka kita harus memilah mengenai apa yang potensial merusak Alquran. Pertama, istilah ghina, taghanni, dalam Alquran sebagaimana hadits mengenai anjuran taghanniyul quran tentu bukan menyanyi-nyanyikan Alquran sebagaimana kebiasaan orang Arab bernyanyi untuk bersenang-senang belaka, khususnya yang erat kaitannya dengan kemaksiatan. Namun sekedar memperindah bacaan Alquran dengan intonasi tertentu, asal tidak merusak rambu-rambu bacaan Alquran seperti tajwid. Kedua, istilah maqamat musik yang kemudian dipinjam menjadi maqamat dalam membaca Alquran, yang perlu dipahami adalah semata bahwa maqam-maqam tertentu itu memang dibutuhkan demi menambah nilai tertentu dalam bacaan Alquran. Misalnya, maqam dengan nada minor tentu sangat tepat jika dipakai membaca Alquran yang berisi tentang kesedihan, untuk menambah penghayatan atasnya. Ketiga, kekhawatiran bahwa “mengidungkan” Alquran bakal menodai kesucian Alquran itu berlebihan, apalagi saat ini nagham-nagham Quran itu sudah umum dipakai dan disahkan oleh para ulama otoritatif. Kelima, membaca Alquran dengan langgam tertentu yang belum populer seperti langgam Jawa, maka harus dihukumi dengan standar yang sama, yakni yang penting tidak menabrak aturan seperti tajwid, sehingga tidak mengubah makna Alquran.

Nagham Quran, dari Mesir ke Indonesia

Penelusuan Anne K Rasmussen, seorang etnomusikolog yang juga guru besar College of William and Marry, Virginia, mendapati bahwa meskipun pelaguan Quran itu dianggap berasal dari zaman Nabi, tetapi sistem melodius yang digunakan oleh para qari sebenarnya baru diperkenalkan dan secara formal dilembagakan pada paruh akhir abad XX. Yang artinya, ini sangat berkaitan erat dengan perkembangan teknologi informasi, baik berupa alat perekam, radio, televisi, dan sebagainya.

Pelaguan Quran, bagaimanapun, merupakan hasil persinggungan dari Alquran dengan seni olah suara atau seni musik. Dalam hal musik,  budaya Arab dalam mengenal istilah maqam (jamak: maqamat), yang di dalamnya mencakup mode musikal termasuk skala nada, kejelasan intonasi, hubungan interval, dan isyarat tertentu ketika seorang penampil bermain dalam maqam tertentu. Istilah maqam ini bukan semata khusus untuk pelaguan Quran semata, melainkan lebih luas yakni berkaitan dengan mode musik secara umum yang sebarannya membentang dari Tiongkok hingga Afika Barat melintasi jalur sutera. Istilah maqam ini kemudian seringkali dicampur-adukkan atau sering disamaartikan dengan nagham.

Memang, banyak banyak penelusuran akademisi, nyaris tidak ada catatan sejarah yang menjelaskan perkembangan nagham Alquran setelah era tabi'in. Para akademisi hanya meyakini bahwa, transformasi seni baca Alquran berlangsung secara sederhana dan diwariskan turun-temurun, lewat berbagai metode pengajaran, seperti sima’an, talaqqi, dan sebagainya. Ini seperti yang diungkapkan Abdul Hamid Abdulloh Ketua Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran (LPTQ) Jawa Timur dalam karya tulis Makna dan Tujuan MTQ. "Beberapa metode yang digunakan dalam mewariskan ilmu nagham Alquran dari masa ke masa adalah sima'i (mendengar), talaqqi (menerima dan mengambil pelajaran lewat bimbingan seorang guru), dan musyahafah" jelasnya.

Hingga paruh akhir abad ke-20, baru kemudian Mesir menjadi inspirasi dan menjadi pusat lahir dan berkembangnya budaya maqamat Alquran. Di samping itu, Mesir juga menempatkan dirinya sebagai saringan yang memisahkan antara musik dan qiraah maqamat nagham Alquran. M Husni Thamrin dalam tesisnya yang berjudul Nagham Alquran: Telaah atas Kemunculan dan Perkembangannya di Indonesia, menjelaskan bahwa qari-qari yang lahir di Mesir, seperti Syekh Muhammad Rif'at (1882- 1950), Syekh Mustafa Ismail (1905-1978), dan Syekh Abdul Basit Abdul-Samad (1927-1988) mampu menunjukkan bahwa nagham adalah nyawa dari bacaan Alquran.

Dalam hal itu, Anne K Rasmussen juga menyatakan bahwa Mesir yang pada mulanya menjadi representasi sistem maqam dalam kawasan Masyriq yang meliputi Palestina, Lebanon, Syuriah, Irak, dan sebagainya, seiring perkembangan teknologi informasi meluber ke berbagai penjuru, salah satunya Indonesia. Wawancara Rasmussen atas seorang qari dan guru Alquran dari Medan, Yusnar Yusuf yang menceritakan dirinya dalam proses pengenalan dan pembelajarannya mengenai nagham Quran dari Mesir lewat radio, membuktikan arti penting media massa sebagai wahana yang sangat penting. Jika dulu proses transmisi lisan itu hanya bisa dilakukan dengan tatap muka, kini hal itu bisa ditemput lewat madia massa (radio) dan piringan hitam. Dengan radiolah, para pembelajar qiraah di Indonesia bisa langsung mengakses pada qari asing yang kemudian berakar kuat di Indonesia.

Mesir memang mulanya adalah representasi sistem maqam bagi kawasan Masyriq. Dulu memang dikenal pembedaan Masyriq, Maghrib, atau Teluk Arab, namun semakin tidak jelas pemilahannya setelah abad ke-20. Namun, proses transmisi qiraah Mesir yang “Masyriq” ke Indonesia itulah yang membuat Indonesia mengenal aneka macam maqam Masyriq: Rast, Bayyati, Hejaz, Nahawand, Nakriz, Nawa Athar, Sikah, Huzam, Jiharkah, dan Ajam. Namun dalam prosesnya, Asia Tenggara khususnya Indonesia menyaring aneka maqam tadi menjadi tujuh maqam atau dikenal dengan qira’ah sab’ah, meskipun sebenarnya yang dimaksud kadang rancu dengan qira’ah sab’ah sebagaimana hadis Nabi yang populer mengenai Alquran yang diturunkan dalam tujuh huruf itu.

Pengalaman saya pribadi waktu mengenai bagaimana radio membawa aneka model qiraah Mesir ke pelosok desa saya di Jawa, di sini menemukan Jawabannya. Bahwa model pembacaan Quran yang menurut saya bagus dan lebih Islami itu, rupanya melewati rangkaian proses yang panjang dalam sejarah. Dan ketika saya kontraskan dengan pembacaan imam langgar kampung yang kemudian baru saya kenali sebagai pembacaan langgam Jawa itu yang waktu itu saya anggap kurang Islami, rupanya sebenarnya hanya “kurang Arabi”. Dan yang “kurang Arabi” itu memang terkadang membawa persoalan tersendiri mengenai kekhawatiran akan keterpelesetan pengkidungan Alquran, sebab bagaimanapun Alquran berbahasa Arab yang sejak kehadirannya di bumi Arab abad ke-7 Masehi sudah langsung melekat dengan bahasa/budaya Arab. Meskipun begitu, pembacaan Alquran langgam Jawa menawarkan semacam “emosi musikal” yang bagi saya pribadi menjadikan Alquran punya kedekatan dengan diri saya yang terlahir dan hidup di alam Jawa.

 

 


Comments