Blindness (Jose Saramago): Tipikal Buku yang Ingin Kamu Nikahi


Dulu saya mengira tidak menyukai percakapan dalam sebuah novel. Tidak hanya mengira, saya bahkan sempat menyampaikan pemikiran tersebut pada beberapa kawan, bahwa saya lebih suka novel yang minim percakapan. Biarlah narasi panjang yang saya baca terus-menerus. Itu lebih baik dibanding harus menghabiskan waktu membaca percakapan-percakapan yang membosankan.

Seiring berlalunya waktu, seturut perkenalan dengan novel dari berbagai penulis, saya kemudian menyadari apa yang keliru. Bukan percakapan dalam novel yang tidak saya sukai, bukan. Lebih tepatnya saya tidak menyukai jenis percakapan tertentu. Jenis yang hanya menambah-nambah isi halaman tanpa memberikan informasi yang diperlukan.

Saya senang betul membaca novel Blindness karya Jose Saramago ini. Kalau perlu, boleh saya katakan bahwa novel ini adalah bacaan terbaik saya sepanjang karir kehidupan saya. Setidaknya sampai tulisan ini saya buat. Sebegitu sukanya, saya bahkan ingin menikahinya. Sial betul.


Novel ini bercerita tentang wabah kebutaan yang tiba-tiba melanda sekelompok manusia. Kebutaan yang sungguh berbeda dengan kebutaan pada umumnya. Jenis kebutaan ini disebutkan tampak seperti berenang di kolam susu, alias mata para penderitanya dihalangi kabut tebal sehingga hanya melihat warna putih menyilaukan.

Di tengah bencana, sisi kemanusiaan kita selalu diuji. Bagaimana cara bertahan hidup tanpa bersikap egois, apakah memungkinkan?

Tentu saja akan terjadi kekacauan demi kekacauan seiring berjalannya waktu, terutama karena persediaan makanan yang semakin menipis. Mau tidak mau setiap orang harus berebut, berusaha menyelamatkan perut masing-masing.


Jose Saramago menyajikan ceritanya demikian memukau. Tidak hanya narasi yang ditulisnya serasa mendengarkan ucapan seorang filsuf, namun juga percakapan-percakapan antar tokoh yang ditampilkannya terasa begitu indah nan menakjubkan.

Simaklah satu kalimat ini, "kalaupun tidak dapat hidup sepenuhnya seperti layaknya manusia, setidaknya marilah kita berusaha sekuatnya agar tak hidup sepenuhnya seperti binatang," kalimat yang diucapkan istri dokter, satu-satunya tokoh yang tidak mengalami kebutaan di tengah wabah. 

Atau kalimat ini, "siapa pun kau, yang kaukatakan itu benar. Selalu ada orang yang perutnya terisi karena tak punya rasa malu. Tapi kita, yang tak punya apa-apa, selain sobekan terakhir martabat yang tidak pantas ini, marilah setidaknya kita tunjukkan bahwa kita masih sanggup memperjuangkan hak kita."

Demikian hebatnya novel Saramago ini, bahkan banyaknya kesalahan teknis berupa tata letak maupun salah ketik, kita masih sangat bisa menikmati membacanya.




Post a Comment

0 Comments
* Mohon Jangan Spam Disini. Semua Komentar ditinjau oleh Admin