Hidup di atas Jembatan
Gemini generated images |
Contradixie—Dalam satu garis, kehidupan manusia adalah antara memahami dan dipahami. Bila kita tidak memiliki pengetahuan yang baik dan posisi yang jelas terhadap keduanya, ringkasan hidup kita akan seperti sebatas wira-wiri antara satu ujung jembatan dan ujung lainnya: menyedihkan.
“Memahami" berhubungan dengan informasi
dan kondisi. Sebagai manusia kita pasti mengonsumsi informasi yang dalam hal
ini kita bisa memetakannya menjadi tiga (3) jenis: langsung, tidak langsung,
dan terselubung.
Informasi langsung meliputi obrolan dengan
teman ngopi, cerita narsistik rekan kerja, keluhan pelanggan, respons dari
pacar ketika kita curhat (yang ini aku rada ragu), permintaan tolong
tetangga, buku, dan semacamnya. Adapun informasi tidak langsung merujuk pada
apa pun yang kita konsumsi melalui media sosial.
Selanjutnya, informasi terselubung lebih pada
semacam tragedi yang terjadi di sekitar kita.
Misalnya, kita melihat ibu-ibu demo di depan KPU, kupu-kupu terjepit
jendela, anak-anak ayam mati dan tersisa satu, suami penjual sayur langganan
sakit, dan sebagainya.
Pada dasarnya, kita memiliki dorongan
primordial untuk memahami tiga jenis informasi tersebut. Namun, dalam
praktiknya, ini bergantung pada kondisi. Dalam kondisi "normal", kita
kesusahan untuk memahami informasi pertama, apalagi ketiga. Kita seringnya
hanya benar-benar mau memahami keresahan teman bila suasana hati sedang mendung
dan bersemangat memahami suatu tragedi ketika merasa terpuruk dan terlempar.
Berpijak pada konsepsi Paul Ricouer tentang
waktu dan realitas bahwa yang nyata—bukan hanya benar—dari kehidupan adalah
momen, dari tiga jenis informasi di atas, yang berpotensi besar membimbing kita
keluar dari jembatan adalah informasi langsung dan terselubung. Pasalnya mereka
mengandalkan kehadiran dan sentuhan: kita bisa menatap langsung mata teman kita
yang sedih atau mengelus leher anak kucing yang memelas.
Sayangnya, ketika berhadapan dengan mereka,
kita hanya mau memahami informasi dari media sosial dan hanya merespons—bila
tidak mengabaikan—sisanya. Memahami dan merespons berbeda. Memahami melibatkan
kesadaran dan hasrat, sedangkan merespons tidak. Kita bisa bilang "oh
iya", "oalah", atau "wah" pada rekan kerja kita yang
narsistik dengan tanpa mengerti sama sekali apa poin dia.
Artinya, ibarat makanan, informasi yang banyak
masuk ke tubuh kita dan nantinya mengendap di ingatan sekaligus kesadaran
adalah berasal dari media sosial. Pertanyaannya, apakah informasi yang kurang
potensial ini (karena terlepas dari momen) memiliki kandungan gizi? Mari kita
masuk ke level kedua: "dipahami".
Dipahami
Di sisi yang berbeda, sebagai manusia kita
adalah sesuatu yang selalu "dipahami" oleh orang lain. Kita boleh
bilang bahwa Tuhan merencanakan manusia menentukan, tapi setiap ketentuan dan
kehendak kita adalah penilaian orang lain.
Dalam konteks ini, kehendak manusia terbagi
menjadi tiga: otentik, organik, dan magis. Tapi, biar ringkas, kita hanya akan
mendiskusikan yang terakhir di sini. Kehendak magis menunjuk segala aktivitas
daring yang kita lakukan di media sosial, seperti menulis status di Twitter,
mengomentari video anak babi lucu yang dipeluk perempuan bercadar di Reels, dan
membuat video joget di TikTok.
Dalam memenuhi kehendak magisnya, manusia bisa
dibedakan menjadi tiga (3) model. Pertama, model manusia yang membuat konten
atau—biar mudah—menulis status karena memang ia sedang memiliki sesuatu untuk
ditulis (model lembu). Kedua, model manusia yang karena tidak punya kesibukan
ia mencari sesuatu untuk ditulis atau mengomentari apa pun yang muncul di temlennya
(model wedus). Ketiga, model manusia yang menulis status untuk tujuan yang
spesifik atau memang nasibnya bergantung pada status di media sosialnya (model
pitik).
Dari ketiganya, dilihat dari proses produksi
konten, yang paling “mending” adalah yang dari model lembu. Sebab ia hadir
dalam tulisannya, menyadari sekaligus meyakini bahwa ini penting bagi sebagian
orang, dan tidak nyepam di temlen, meski seringnya hanya dia yang
paham apa maksudnya. Adapun yang model wedus, kita tidak berharap banyak pada
aktivitas daringnya. Semua tentangnya adalah reaksi dari reaksi. Ia tidak
kosong. Ia penuh, tapi oleh kebingungan, seperti buih di Parangtritis.
Dalam hal gizi, konten-kontennya model pitik
barangkali lebih bisa kita konsumsi ketimbang punyanya model wedus. Sebab
setidaknya mereka punya posisi, meski bumbunya terlalu tebal. Manusia model
pitik punya kecenderungan untuk mensyen akun-akun besar yang tidak
mengenalnya. Ia juga main tagar, punya jadwal rutin membuat status, suka
memuji, dan tak segan mengkritik. Dengan gaya seperti ini, kontennya tidak akan
pergi ke mana-mana kecuali antara tentang dirinya dan lingkaran yang ia bangga-banggakan.
Kita
Pendeknya, kita seperti koin dengan dua sisi.
Di sisi memahami, berdasarkan celoteh di atas, kita perlu mempertimbangkan
informasi yang langsung dan terselubung untuk dikonsumsi dan bukan hanya
informasi media sosial—apalagi yang diproduksi oleh manusia wedus—kecuali kita
memang ingin tinggal di atas jembatan. Di sisi dipahami kemudian, kita boleh
mencoba untuk menjadi manusia model lembu agar tidak ikut-ikut “terlalu” nyampah—atau
apa ya bahasa yang pas untuk menggambarkan sesuatu yang lebih dari sampah—di
media sosial.Ipng
Comments
Post a Comment