Odong-Odong adalah Kehidupan. Iya, Odong-Odong!

 


Di suatu sore yang seperti biasanya dua anak kami kompak minta naik odong-odong. Suatu ritual mingguan yang lumrah bagi para ibu-bapak dengan anak balita. Cuaca baik-baik saja, mendung tidak, angin pun tak semilir, tetapi bayangan dunia tetiba merasuk hadir dibenak saat odong-odong itu mulai berputar.

Mengapa sekedar berputar saja anak-anak sangat suka? Pertanyaan ringkas ini melebar hanya dalam sepersekian detik ketika kami sadar bahwa hidup juga merupakan putaran. Dalam putaran siang dan malam kita melalui putaran yang sama dari ujung hingga ujung seperti odong-odong. Apa yang membuat kita begitu bergairah menjalani putaran? Menginginkannya terus berlanjut hingga pada waktunya kita diberhentikan, digendong turun dari odong-odong, baik terpaksa; terbujuk; ataupun rela karena merasa cukup.

Barangkali rasa adalah hal yang kita cari hingga rela berputar-putar demikian ‘berguna’. Suami-istri bisa rela membakar kalori di tengah malam juga demi seabsurd rasa, meskipun di ujungnya tak selalu menentu. Pemain game bisa kalah beruntun tapi tetap juga rajin memencet gawainya, demi apa kalau bukan rasa? Rapat kerja perundingan menu yang pas untuk dimakan pada suatu malam yang biasa saja juga demi apa kalau bukan karena selaksa rasa?

Rasa dalam momen tertentu seperti wedus untuk aqiqah ketika hanya ia yang dibutuhkan dalam suatu kepentingan hati. Hanya wedus yang kita inginkan untuk aqiqah meskipun kita punya selusin lembu di kandang, hanya wedus. Ketika rasa itu hadir gejolaknya meluap memengaruhi fisik, menuntunnya mati-matian untuk meraihnya kembali ataupun mati-matian untuk memupusnya.

Raja Angling Dharma dikutuk bertubi-tubi karena menolak memberitahukan aji ginem yang diminta Dewi Satyawati; dari kerajaan yang menjadi belantara hingga diubah menjadi burung meriwis putih, semuanya terjadi karena hasrat rasa yang tak terpenuhi.

Nabi Daud mesti ditegur Tuhan dengan mengutus malaikat yang menjelma sebagai dua penggembala yang punya perkara, penggembala pertama memiliki 99 wedus ingin merebut satu wedus milik saudaranya yang lemah, demi keinsafan untuk memungkasi hasrat rasa berkuasa nan invansif.

Raja Zulkarnain harus keliling dunia  hanya demi perasaan akan ‘fana’ yang mutlak untuk segala hal di muka bumi termasuk mega proyek tembok besi pengurung yakjuj ma’juj yang dibangunnya.

Sekuat apapun kuasa kita pada saatnya bumi akan berhenti berputar, atau kita yang akan dihentikan untuk menginjaknya berputar, baik terkapar di antah berantah atau dibaringkan lengkap dengan kain kafan. Kelereng hijau biru besar ini tak ubahnya odong-odong kita dalam menjemput rasa yang senantiasa berubah, memilah yang paling stabil dalam semesta perubahan.

Odong-odong masih berputar ketika rasa haus menggoda kami untuk membungkus jus avokad di sore yang biasa saja itu dan segera menggendong anak-anak turun mengambil balon. Dalam perjalanan pulang, di ujung jalan kami mendapati dokar dengan dua kudanya menunggu penumpang. Anak-anak kompak bilang ingin naik kuda, kami tak kalah kompak bilang kalau kuda itu mau tidur jadi tidak ada yang menumpang. Bagaimana pula serpihan dunia jika anak-anak naik kuda, apalagi naik wedus? Lmbok. MFR

          

Tags

Post a Comment

0 Comments
* Mohon Jangan Spam Disini. Semua Komentar ditinjau oleh Admin