Di suatu sore yang seperti biasanya dua
anak kami kompak minta naik odong-odong. Suatu ritual mingguan yang lumrah bagi
para ibu-bapak dengan anak balita. Cuaca baik-baik saja, mendung tidak, angin
pun tak semilir, tetapi bayangan dunia tetiba merasuk hadir dibenak saat
odong-odong itu mulai berputar.
Mengapa sekedar berputar saja anak-anak sangat
suka? Pertanyaan ringkas ini melebar hanya dalam sepersekian detik ketika kami
sadar bahwa hidup juga merupakan putaran. Dalam putaran siang dan malam kita
melalui putaran yang sama dari ujung hingga ujung seperti odong-odong. Apa yang
membuat kita begitu bergairah menjalani putaran? Menginginkannya terus
berlanjut hingga pada waktunya kita diberhentikan, digendong turun dari
odong-odong, baik terpaksa; terbujuk; ataupun rela karena merasa cukup.
Barangkali rasa adalah hal yang kita cari hingga
rela berputar-putar demikian ‘berguna’. Suami-istri bisa rela membakar kalori
di tengah malam juga demi seabsurd rasa, meskipun di ujungnya tak selalu
menentu. Pemain game bisa kalah beruntun tapi tetap juga rajin memencet
gawainya, demi apa kalau bukan rasa? Rapat kerja perundingan menu yang pas
untuk dimakan pada suatu malam yang biasa saja juga demi apa kalau bukan karena
selaksa rasa?
Rasa dalam momen tertentu seperti wedus
untuk aqiqah ketika hanya ia yang dibutuhkan dalam suatu kepentingan
hati. Hanya wedus yang kita inginkan untuk aqiqah meskipun kita
punya selusin lembu di kandang, hanya wedus. Ketika rasa itu hadir gejolaknya
meluap memengaruhi fisik, menuntunnya mati-matian untuk meraihnya kembali
ataupun mati-matian untuk memupusnya.
Raja Angling Dharma dikutuk bertubi-tubi karena
menolak memberitahukan aji ginem yang diminta Dewi Satyawati; dari kerajaan
yang menjadi belantara hingga diubah menjadi burung meriwis putih, semuanya
terjadi karena hasrat rasa yang tak terpenuhi.
Nabi Daud mesti ditegur Tuhan dengan mengutus
malaikat yang menjelma sebagai dua penggembala yang punya perkara, penggembala
pertama memiliki 99 wedus ingin merebut satu wedus milik
saudaranya yang lemah, demi keinsafan untuk memungkasi hasrat rasa berkuasa nan
invansif.
Raja Zulkarnain harus keliling dunia hanya demi perasaan akan ‘fana’ yang mutlak
untuk segala hal di muka bumi termasuk mega proyek tembok besi pengurung yakjuj
ma’juj yang dibangunnya.
Sekuat apapun kuasa kita pada saatnya bumi akan
berhenti berputar, atau kita yang akan dihentikan untuk menginjaknya berputar,
baik terkapar di antah berantah atau dibaringkan lengkap dengan kain kafan.
Kelereng hijau biru besar ini tak ubahnya odong-odong kita dalam menjemput rasa
yang senantiasa berubah, memilah yang paling stabil dalam semesta perubahan.
Odong-odong masih berputar ketika rasa haus
menggoda kami untuk membungkus jus avokad di sore yang biasa saja itu dan
segera menggendong anak-anak turun mengambil balon. Dalam perjalanan pulang, di
ujung jalan kami mendapati dokar dengan dua kudanya menunggu penumpang.
Anak-anak kompak bilang ingin naik kuda, kami tak kalah kompak bilang kalau
kuda itu mau tidur jadi tidak ada yang menumpang. Bagaimana pula serpihan dunia
jika anak-anak naik kuda, apalagi naik wedus? Lmbok. MFR