Di Rumahku, Gareng Adol Kerupuk

Gemini Generated Image

Oleh: Dea

Contradixie – Di sepanjang jalan sorowajan, ada satu tempat yang tidak mewah-mewah amat. Biasa saja, hanya nyaman bagi mbangbung untuk bercerita, berkeluh kesah atau sekadar macak sibuk. 

Biasanya yang paling sering datang untuk merenung di depan laptop itu Bagong. Dia sangat rajin menghadiri kesepiannya di tempat itu untuk beberapa menit selanjutnya dia panggil para mbangbung lain untuk rawuh dan menemaninya.

Gareng datang dengan muka cengar-cengir dan sebatang rokok yang tinggal seujung bibir. Dia membawa informasi yang menggembirakan dan memberi harapan pada masa depanku, atau bahkan masa depan semua manusia termasuk para mbangbung.

Walaupun hanya Allah dan malaikat Izrail yang tahu persis apakah kita masih punya masa depan atau tinggal sebentar lagi. Info tersebut adalah baru bagi Bagong, padahal itu berita usang bagi para milenial.

Gareng seperti sengaja menghibur Bagong. Sebab pagi itu Bagong galau, terlihat ngenes.

“Aku dibombardir oleh banyak teman, aku ditanya aku ini pro atau kontra? Anti atau pro? Mendukung apa melawan? Kanan apa kiri? Tuhaner apa Ibliser? Dan aku murung agar supaya hati teman-teman senang, lega”.

Lalu bagong menjawab lagi:

“Kujawab serampangan saja, aku ini plinthat-plinthut seperti hari. Kadang siang, kadang malam. Kadang pagi, kadang sore. Yang Tuhaner dan ibliser tidak kujawab karena aku tahu di pandangan mereka, Tuhan dan iblis itu dua musuh bebuyutan.”

Tidak lama datang si Petruk, “ya betul, aku juga mengalaminya.”

“Mengalami apa? Wong baru datang kok langsung nyamber,” kata Gareng

“Aku tadi sekilas dengar apa yang keluar dari mulut Bagong, Tuhan dan iblis itu musuh. Semua orang beranggapan begitu. La wong aku baru saja mengisi materi dan aku bilang setan tidak boleh selalu disalahkan atas dosa-dosa yang kita perbuat, kok aku dibilang radikal oleh pengisi materi yang lain” kata Petruk.

That is how the world works. Tuhan dan iblis adalah “dua Tuhan”. Dua kekuatan yang saling bersaing, beradu pengaruh, fight memperebutkan manusia dari kehidupan. Sampai digambarkan Tuhan dan iblis di ring tinju, adu kekuatan. Atas pandangan itulah dunia dibangun. Atas cara pandang kompetisi antara Tuhan dan iblis itu, manusia mendirikan negara, berpolitik, bahkan menjalankan agama.”

“Andaikan tertawa merupakan sebuah kemungkinan yang “halal” pada Tuhan, tentu saja sudah kubayangkan Tuhan tertawa terbahak-bahak menyaksikan umat manusia mempersaingkan Dia dengan iblis (yang sudah jelas itu makhluk-Nya) serta menjadi ‘andalan’ utama kebajikan-Nya sejak Dia menciptakan Adam.”

Gareng menimpali, “dan pasti yang merasa sangat gelisah adalah si iblis itu sendiri. Iblis sangat sangat pekewuh pada Tuhan bahwa ia dianggap kompetitor-Nya. Mungkin sudah sangat lama iblis ingin menyegerakan berakhirnya kontrak dengan Allah yang aslinya berlaku sampai hari kiamat.”

“Masuk akal juga sih, iblis sudah melihat bahwa manusia tidak butuh godaan dan pengaruhnya untuk mengingkari Allah, berbuat kejam, merusak bumi dan menumpahkan darah. Ia menemukan bahwa ide jahat manusia sudah jauh melampaui gagasan iblis bagi manusia untuk berbuat jahat,” kata Petruk sembari mengunyah mendoan panas yang baru diantarkan.

“Aku berpikir bahwa iblis memiliki kejelian persepsi terhadap segala hal. Iblis selalu memiliki pikiran yang komprehensif. Iblis tidak melihat segala sesuatu secara linier dan sepenggal. Beda dengan manusia. Ketika Timnas kita kalah 1:3 melawan Jepang karena permainannya yang sangat bagus, aku kelepasan bertepuk tangan atau berteriak ‘yesss!’ Sudah pasti orang-orang di sekelilingku marah. Padahal yang kurayakan adalah skill manusianya. Aku suka dengan manusia yang tekun melatih hidupnya. Hal Timnas dan jepang itu relatif. Sesudah kalah adu penalti, kalau besoknya ditandingkan lagi, indonesia bisa saja menang. Juara itu berlaku sedetik, berlaku hanya di salah satu koordinat ruang dan waktu. Ketika koordinatnya bergeser, juara pun bisa berbalik,” kata Bagong. 

“Jadi maksudmu kau ini mendukung atau tidak mendukung bukan hanya sekadar berdasarkan menang kalah, sedang berkuasa atau tidak. Soalnya nanti ada tahap pola sikap yang lebih substansial lagi. Begitukah?”

“Ya jelas! Memang hampir mustahil menerapkan sikap universal terhadap kebenaran, kebaikan, dan kemaslahatan. Itu membuatku murung karena keadaan masa kini yang menyembah segala hal yang bersifat temporer, bias, terbalik balik isinya. Tidak hakiki. Gitu loh, Truk.” 

Bagong menjelaskan lagi, “sementara kalau ada yang tanya bakalan kujawab begini: hati-hati dengan manusia. Jika manusia dapat keuntungan darimu, maka kau akan diagung-agungkan, bahkan di-Tuhan-kan. Kau harus selalu benar. Tidak boleh salah. Tidak boleh ada yang menyalahkanmu. Tapi jika suatu saat ia tak mendapat keuntungan darimu, atau kau sudah tidak punya apa-apa lagi, maka kau akan segera di-iblis-kan.” 

Gareng menghisap dalam-dalam asap tembakau dan menghela nafasnya, “Manusia sangat ahli menciptakan berhala untuk dijadikan Tuhan. Itu bisa dalam konteks apa saja. Entertain, budaya, politik atau apa sajalah. Mereka yang membuat berhala, dielu-elukan, diviral-viralkan, dicitra-citrakan. Dan ketika berhala itu sudah tidak menguntungkan, tidak marketable, wis ora payu neng pasaran, mereka akan menggantinya dengan Tuhan yang baru. Tanyakanlah pada manusia-manusia gang atau manusia-manusia kabupaten yang angkat-angkat di Jakarta, di Tuhan-Tuhan-kan, dibuat top. Tapi begitu tidak laku, lalu ditinggalkan dan balik jadi pengamen di daerahnya. Sungguh Tuhan sejati  manusia adalah dirinya sendiri, kepentingannya sendiri, nafsunya sendiri, pokoke untungnya sendiri.“

“Makanya dari itu Reng, Gareng. Aku sangat gembira nek kamu itu bawa berita tentang Dmitry Itskov itu, suwun ya! 

Tags

Post a Comment

0 Comments
* Mohon Jangan Spam Disini. Semua Komentar ditinjau oleh Admin