Berita Kehilangan

Gemini generated image

Contradixie, Cerpen – Ia sedang ngobrol dengan rekannya sambil membuka Chromebook ketika menyadari berkas proposal bisnisnya lenyap. Suasana hatinya mendadak tidak karuan. Ia masih mendengar temannya bicara. Ia juga merespons, tapi tidak ingat apa yang dibahas. Kesadarannya tersita oleh data yang hilang.

"Duh!" katanya pelan dengan raut muka yang jelek, gelisah, dan tanpa arah. 

"Mosok nggawe maneh. Dua bulan waktuku sia-sia dong. Bangsat!"

Ia yakin betul berkas tersebut tersimpan dengan baik di Chromebook-nya. Sebab laptop ini berbasis Google Chrome dan Google Doc yang keunggulannya adalah menyimpan otomatis dan co-working space

"Tidak mungkin hilang ini!" dia membatin. Keukeuh. 

Ia cari kembali di folder tempat seharusnya data itu tersimpan, tapi nihil. Ia masuk ke folder lain dengan harapan bahwa berkas tersebut terlempar secara tidak sengaja. Hasilnya masih sama. 

Emosinya semakin tidak menentu. Satu, berkas proposal bisnis yang dalam proses pembuatannya sangat menguras energinya itu tidak kunjung menampakkan diri. Dua, keyakinannya tidak sesuai dengan kenyataan.

Meski begitu, ia tetap mencari. Kesetiaannya pada apa yang ia yakini mengalahkan rasa jengahnya. Ia masuk ke folder Google Drive manual di Google Chrome. 

"Ya menowo, folder di Chromebooknya yang bermasalah," katanya dalam hati. 

Ia tidak menemukan apa pun kecuali kekecewaan. Ia mengubek-ubek Google Drive. Mengetik berbagai kata kunci terkait proposalnya di kolom pencarian. Berpindah perangkat ke komputer di kantornya dan terakhir menggunakan ponselnya. Buahnya sama: lara. 

Ia marah. Tapi bingung mau pada siapa. Sempat terpikir mau menggebrak Chromebook-nya, tapi tidak jadi. Ia ingat bahwa hanya itu laptop yang ia miliki. Ia lantas menelepon rumah. 

"Halo. Besok beli laptop baru ya. Rusak Chromebook ini. Mosok berkas proposalku yang baru jadi tadi malam itu tiba-tiba hilang. Bayangin. Membuatnya itu harus mencuri-curi waktu. Duh. Sialan kok," katanya. 

Akhirnya ia menumpahkan amarahnya pada orang rumah dan melalui ancaman mau beli laptop baru dengan keyakinan bahwa Chromebook-nya dengar, sehingga si Chromebook merasa bersalah karena telah menghilangkan datanya.

Dengan mengancam si Chromebook sebenarnya ia berharap, setelah diancam sedemikian rupa datanya akan muncul kembali. Ini kepercayaan yang konyol, tapi itu benar adanya. Beberapa saat selepas ia mengumpat Chromebook, ia mencari kembali data tersebut, meski tidak membuahkan apa pun. 

"Aargh. Yaweslah. Hmm," ia menyerah. 

Ia segera pamit pada rekan kerjanya yang tadi setelah sebentar menceritakan tragedi yang menimpanya. Temannya mengucapkan bela sungkawa atas kehilangannya dan lalu ia pergi ke warung kopi. 

Di perjalanan, ia mampir beli rokok yang paling enak dan mahal, kendati rokoknya belum habis. "Harus ada semacam pembalasan dendam ini," katanya lirih sambil menyodorkan sebungkus rokok pada kasir di toko langganannya di Jalan Tembi-Cepit.

Sesampainya di Warung Kopincuk, kafe proletar di sebelah selatan ISI, ia menyapa kasir yang sudah cukup akrab dengannya meski belum tahu namanya; memesan kopi susu, air putih hangat, dan Pecel Telur; dan duduk di tempat biasa.

Hatinya tidak tenang, ia segera membuka bungkus rokok. Mengambilnya satu dan menyelipkannya di bibir. Meski begitu, ia tidak segera membakarnya. Ia menunggu kopinya tiba dan baru melakukannya 

Pada momen antara seruputan pertama dan tarikan perdana, ia merasa subhanallah. Pada cecapan keempat, getir kehilangan kembali mendominasi. Ia masih ragu tentang proposalnya.

"Beh. Wes. Nulis lagi wae!" Ia tiba-tiba mengambil keputusan di tengah penantiannya akan Pecel Pincuk iwak endok.  

Ia tidak yakin bisa menulis lagi proposalnya hanya dengan mengandalkan ingatan. Kalaupun bisa, hasilnya pasti berbeda dari yang sudah ia buat sebelumnya: bisa lebih jelek, bisa sebaliknya. Tapi, dua kemungkinan ini ia rasa lebih mending dibanding harus merasakan ketidakjelasan emosi karena Chromebook.

Ia akhirnya membuka Chromebook lagi. Bukan untuk memaksa yang hilang agar kembali melainkan membuat yang lain. Ia menulis judul yang sama, menyusun paragraf pertama berdasarkan sisa ingatan, melanjutkan ke paragraf ketiga, dan tanpa terasa latar belakang nyaris selesai bersamaan dengan Pecel Pincuknya tiba. 

Raut mukanya menyembulkan antara kelegaan dan keheranan. Ia lega karena ternyata ia bisa menulis lagi dengan cepat proposalnya. Ia heran sebab, "loh kok galaunya sudah berlalu. Loh, ini tentang proposal yang proses pembuatannya dua bulan dan hilang tanpa jejak! Dampak olengnya harusnya lebih lama. Ini tidak bisa ini."

Amarah dan kegundahannya yang mendadak reda–semendadak file proposalnya yang lenyap–membuatnya untuk kedua kalinya resah. Ia tidak terima dengan kondisinya. Sambil makan pecel, ia berpikir dan berupaya untuk memanggil kembali emosi yang tadi meluap-luap. 

Berdasarkan pengalamannya, saat emosi meluap aspek orisinal dari seseorang akan muncul. Ia menyesal. Harusnya sebelum memutuskan untuk menulis kembali, ia resapi dulu emosinya dan tuangkan dalam bentuk lukisan.--zv


Comments