Politik Islam Moderat di Indonesia: Antara tekanan Internasional dan kontestasi domestik
Oleh: Muhammad Ayub Abdullah
Contradixie, Esai – Mungkin sudah tidak asing lagi bagi kita
ketika mendengar istilah Islam moderat. Istilah ini gampangnya adalah model
beragama dan memahai Islam yang disesuaikan dengan nilai-nilai demokrasi.
Baru-baru ini Kementerian Agama menginstruksikan kepada kampus-kampus di bawah
naungannya untuk mensosialisasikan Moderasi Beragama kepada mahasiswa baru.
Entah apa tujuan sebenarnya, namun kita mengetahui bahwa wacana tersebut cukup
memiliki pengaruh dan gerakan yang cukup masif di masyarakat.
Bersamaan dengan pluralisme, toleransi dan lan-lain,
moderasi beragama menjadi salah satu kata kunci yang masih cukup menarik untuk
diperbincangkan. Dalam hal ini, Contradixie mengadakan program “Udartikel”,
sebuah diskusi santai membicaraan soal Islam Moderat. Artikel yang cukup
menarik untuk dibedah yakni artikel yang ditulis oleh Rizki A Alvian &
Irfan Ardhani yang berjudul “The Politics of Moderate Islam in Indonesia:
Between International Pressure and Domestic Contestations”.
Secara umum artikel ini menjelaskan bagaimana “Islam
moderat”, yang hingga saat ini kita kenal, memiliki perjalanan yang panjang dan
menjadi banyak perbincangan di berbagai kalangan. Dalam konteks negara
Indonesia, narasi “Islam moderat” ini menjadi suatu wacana yang diperdebatkan,
bahkan ada sebagian kalangan yang harga mati membela wacana tersebut. Sebagai
sebuah wacana, nampaknya gagasan tersebut cukup penting bagi para penguasa
menaruh perhatiannya untuk memonopoli demi kepentingan preservasi kekuasaan
mereka.
Berangkat dari awal kemunculannya yakni pasca tragedi
gedung WTC pada sembilan September, moderasi beragama menjadi semacam counter-discourse
dari aksi terorisme yang didalangi oleh orang-orang yang dianggap memiliki
paham beragama yang keras. Maka, tidak heran wacana tersebut sering kali
berkaitan dengan isu-isu seputar demokrasi, anti-kekerasan, kesetaraan gender,
dan pluralisme yang memang dibangun oleh Amerika untuk melawan paham yang
sebaliknya. Dalam konteks di Timur Tengah, moderasi beragama ini sering
digunakan untuk mempertahankan kekuasaan dari suatu rezim.
Di Indonesia sendiri, presiden, sebagai seorang aktor
utama dalam pengambilan kebijakan dalam hal ini dihadapkan pada dua pilihan: pertama,
mengabaikan tuntutan politik dan tetap menjaga kesesuaian dengan makna awalnya
atau; kedua, menyesuaikan gagasan moderasi beragama sebagai alat untuk
menghadapi politik domestik yang berkonsekuensi pada pergeseran arti ketimbang makna
awalnya.
Kita dapat melihat dua kemungkinan tersebut dengan
melihat bagaimana wacana moderasi beragama ini hidup di setiap rezim yang ada
di Indonesia mulai pada zaman Presiden Megawati Soekarno Putri hingga Presiden
Joko Widodo. Pada era presiden Megawati Soekarno Putri, konsep mengenai
moderasi beragama masih sangat minimalis. Megawati tidak memanfaatkan gagasan
Islam moderat dalam kebijakan politiknya. Gagasan tersebut juga belum menjadi
bagian integral dari kebijakan negara baik dalam interaksi internasional maupun
sebaga alat diplomasi. Penggunaan gagasan ini pada awalnya hanya sebagai upaya
untuk mendapat pengakuan publik internasional dalam hal keterlibatan dalam
perang melawan terorisme.
Kemudian pada era presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY), pemaknaan pada Islam moderat sedikit lebih jelas, yakni kesesuaian Islam
dengan prinsip dan nilai-nilai dari demokrasi dan modernitas. Presiden SBY
menjadikan NU dan Muhammadiyah sebagai representasi dari Islam yang moderat.
Namun, pada masa ini, sebagaimana presiden sebelumnya, masih menggunakannya
sebatas pengakuan internasional yang cenderung diam dan abai pada permasalahan
domestik, khususnya pada aksi-aksi kelompok Islamis.
Pada era presiden Joko Widodo atau disapa Jokowi,
pemaknaan terhadap Islam moderat mengalami eksklusifitas. Lebih spesifik pada
era ini, Islam moderat dipahami dengan bukan hanya soal keselarasan dengan
prinsip dan nilai dari demokrasi, namun juga pada Pancasila dan gagasan
persatuan Nasional. Bahkan, Jokowi mencoba mengeksploitasi gagasan Islam moderat
yang telah mendapatkan kekuatan wacana (discursive power) dengan tujuan
untuk membangun stabilitas kekuasaan politik yang diwujudkan salah satunya
dengan mendukung ide Islam Nusantara yang dipandang sesuai dengan pemahaman
Islam moderat. Hal ini tampak jelas pada bagaimana pemerintahan Jokowi banyak memberikan
sumber daya politik dan kelembagaan pada Nahdlatul Ulama. Di samping itu,
Jokowi juga berupaya melemahkan kekuatan kelompok Islam yang tidak dapat
menyelaraskan ideologi mereka dengan Islam moderat, salah satunya dengan
mengesahkan UU Ormas dan pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang
dipandang tidak berpaham demokrasi dan berideologi yang bertentangan dengan Pancasila.
Dengan demikian, dapat ditarik garis simpul bahwa ada
pergeseran interpretasi dari masa awal munculnya narasi Islam moderat yang
dipahami sebagai paham keberagamaan yang selaras dengan prinsip demokrasi
menjadi lebihh spesifik pada suatu tuntutan yang datang dari kekuatan kekuasaan
yang mencoba mengeksploitasi suatu konsep tertentu untuk menjaga stabilitas
kekuatan politiknya. Hal ini yang tentu harus kita pahami bersama bahwa,
kehadiran Islam di Indonesia belum menjadi sebuah diskursus yang berangkat dari
kesadaran organik. Alih-alih berangkat pada hal tersebut justru gagasan
moderasi beragama malah menjadi suatu konsep yang rawan ditunggangi kekutan
politik yang menggunakan agama sebagai alat membangun kekuatan politik.
Comments
Post a Comment