Kappa Terlalu Relevan dengan Zaman
Mesin penelusuran saya gunakan untuk mencari
tahu tulisan-tulisan sebelumnya yang membahas Kappa karya Ryunosuke
Akutagawa. Niatnya hendak membaca pendapat dan tanggapan orang-orang mengenai
buku ini. Sayang sekali tidak banyak yang membahasnya, atau mungkin penelusuran
saya saja yang kurang spesifik. Rata-rata yang saya temukan hanya keterangan
tentang kappa yang merupakan mahluk mitologi Jepang, juga penjelasan mengenai
penulisnya yang bunuh diri di usia 35. Kurang lebihnya mereka hanya mengulang apa
yang sengaja disematkan pada buku sebagai penjelasan tambahan.
Ada banyak kalimat yang saya garisbawahi pada
buku ini. Tapi terlebih dahulu akan mengambil satu yang menurut saya begitu
relevan dan barangkali akan selalu relevan dengan zaman. Menarik untuk berangkat
dari ulasan-ulasan sebelumnya yang menyebutkan bahwa Kappa merupakan
buku yang isinya mengkritisi beberapa budaya Jepang. Bagi saya Kappa tidak
sesempit itu. Kritiknya bahkan terlalu relevan dengan zaman. Setidaknya bila
ditarik ke kehidupan masyarakat Indonesia.
“Kami tidak mempunyai hukuman gantung, kursi
Listrik kadang-kadang digunakan, tetapi itu pun jarang sekali. Biasanya kami
cuma menyebutkan nama kejahatan yang dilakukan.”
“Apakah itu sudah cukup membunuh Kappa?”
“Beberapa hari yang lalu kappa sosialis menuduh
aku perampok. Ucapan itu hampir saja melumpuhkan jantungku.”
“Pada suatu hari pengacara itu disebut katak….
Anda tahu, di negeri ini katak dianggap sebagai mahluk yang kejam. Begitulah si
pengacara dipanggil katak, dan sejak itu ia bertanya kepada diri sendiri,
apakah ia katak atau bukan, sehingga akhirnya ia mati.”
Sampai di sini kalian barangkali akan
terpikirkan satu nama. Melihat peristiwa yang terjadi belakangan ini, akan
sulit untuk tidak mengaitkannya dengan tokoh tertentu. Sebut saja si Fufufafa
(bukan nama sebenarnya) yang maju sebagai calon wakil presiden setelah
mengacak-acak aturan. Tidak peduli banyaknya keberatan yang diajukan, toh dia tetap
membusungkan dada dan tiada merasa malu sedikit pun.
Protes-protes yang digaungkan nyatanya tidak
cukup untuk menyentil sedikit saja rasa malu dalam dirinya. Itu kalau dia
memang mempunyai rasa malu. Dengan segala penyimpangan dan ketidakmampuannya
untuk posisi tersebut, dia masih begitu percaya diri tebar pesona dan berlagak
sebagai wakil yang dielu-elukan keberadaannya.
Rasanya ingin muntah membayangkan betapa
manusia bisa setebal muka itu. Betapa sangat kontras antara kappa dan manusia. Kappa
bisa sampai depresi hanya dengan mengenang kesalahannya, adapun manusia bisa
tetap melenggang santai sekalipun di depan mukanya kau tunjukkan seberapa besar
kecurangannya.
Buku ini terlalu bagus untuk diabaikan. Terlalu
sayang untuk berakhir di rak buku usai dibaca. Kappa layak diperbincangkan,
dibahas terus-menerus, digaungkan hingga orang-orang seperti Fufufafa bisa
sedikit tersentil harga dirinya.
Beberapa kalimat lain yang saya garisbawahi
akan saya cantumkan di sini sebagai bahan renungan sebelum lelapmu:
“Kupikir aku seorang super kappa bagi
kappa-kappa perempuan. Tetapi aku tak pernah dapat melihat kehidupan keluarga
kappa lain tanpa iri hati.”
“…. Pidatonya tentu saja bohong. Setiap perkataan
dalam pidato itu bohong. Tetapi karena setiap kappa tahu bahwa setiap
perkataannya bohong, bukankah itu berarti bahwa pidatonya itu diucapkan dengan
jujur?....”
“Saya cuma ingin melihat dunia yang kacau ini
dari sudut lain karena dilihat secara biasa sangat suram. Tetapi dilihat dari
arah lain pun agaknya sama saja.”
“Menurut yang tolol semua adalah tolol, kecuali
dia sendiri.”
“Apa yang paling ingin kita banggakan ialah
yang tidak ada pada kita.”
“Biasanya apa yang khas tentang diri kita
terdapat di luar kesadaran kita.”
“Mengurangi kebutuhan kebendaan tidak selalu
membawa ketenteraman pikiran. Agar dapat hidup dengan tenteram,
keinginan-keinginan kebatinan perlu dikurangi.”
Comments
Post a Comment