Problem Hermeneutika Al-Quran dalam Artificial Intelligence
Oleh: Muhammad Saifullah
Contradixie, Esai—Kemarin, seperti biasa di akhir pekan, aku dan beberapa
teman menghabiskan sore di Warung Kopi dekat Institut Ilmu Al-Quran (IIQ)
Yogyakarta. Di samping kami, ada beberapa mahasiswa, tiga cewek dan satu cowok,
sedang mengenang hasil partisipasi mereka dalam sebuah seminar tentang
perkembangan tafsir Al-Quran dari masa awal hingga digital di kampus Islam
utara. Salah satu dari mereka merangkum hasil diskusi dan menyimpulkan bahwa,
siapa pun tidak bisa menggunakan kacamata atau teori yang lahir tafsir-tafsir
klasik untuk membaca tafsir di media sosial.
Itu terdengar progresif. Keren! Pasti narasumbernya
memukau, batinku. Tapi, penilaianku kutarik ketika doi melanjutkan ulasannya: “Tafsir di media sosial, karena medianya berbeda dari tafsir
klasik, melahirkan cara baca baru yang kita bisa menggunakan ini untuk
penafsiran Al-Quran di Artificial Intelligence (AI).” Aku berupaya
mencerna pelan hasil curi-curi dengarku pada diskusi mereka dan lalu mencoba
bertanya dalam diam: apakah benar teori yang lahir dari tafsir di media sosial
bisa digunakan untuk membaca tafsir dalam AI?
Eh sebentar, barangkali pertanyaanku terlalu husnuzan:
apakah sudah ada kesepakatan di antara para sarjana tentang pendekatan untuk
mengkaji tafsir Al-Quran di media sosial? Atau apakah sudah ada teori yang
telah diterima banyak sarjana untuk mendekati tafsir Al-Quran di media sosial?
Mereka asyik dan bangga dengan partisipasinya pada seminar, tapi kenapa justru
aku yang rumit dengan berbagai pertanyaanku ini. Entah.
Sambil menikmati momen ngupi—yang semakin ke sini,
semakin jarang kami tunaikan—aku mengingat-ingat tipis sekaligus meminta
pendapat pada temanku. Kami sepakat ternyata, di bidang studi Al-Quran dan
Tafsir, diskusi dalam arti sesungguhnya jarang terjadi. Banyak peneliti
Al-Quran dan Tafsir fokus pada isu dan bahkan teorinya sendiri dengan tanpa
memedulikan apa yang sedang para sarjana di luar sana bicarakan. Mereka
membahas tentang Living Quran misalnya dan meyakininya sebagai isu
besar, tapi sarjana Al-Quran dan Tafsir di Malaysia, Singapura, Jepang, Jerman,
dan sebagainya tidak mengenalinya. Ini aneh dan lebih unik, itu menjadi nama
mata kuliah.
Aku membayangkan, diskusi akademik seperti makan malam di
Blandongan. Para sarjana dari banyak negara membawa persoalan sekaligus hasil
risetnya ke satu meja makan dan lalu mengupasnya: mengkritik, menolak,
mendukung, mendapatkan konfirmasi, dan menyepakati. Diskusi berjalan sebab
setiap detail yang diteliti mereka kaitkan dengan isu besar yang semua peserta
makan malam sudah memahaminya. Dengan begini, proses verifikasi, falsifikasi,
dan upaya yang dilakukan secara terus-menerus dan berkelanjutan bisa terjadi.
Dampaknya, ilmu pengetahuan berkembang.
Sayangnya, itu belum banyak terjadi di Indonesia yang
sebab ini kukira wajar bila ada kesimpulan sebagaimana di atas. Kembali pada
pembahasan, yang ingin aku ulas di sini pada dasarnya adalah tentang klaim
bahwa kita bisa menggunakan kacamata hermeneutika Al-Quran di media sosial
untuk membaca praktik penafsiran Al-Quran di AI: apakah memungkinkan? Atau—barangkali
pertanyaan yang lebih tepat begini—apakah upaya memahami Al-Quran dalam AI bisa
kita sebut proses menafsirkan?
Lingkaran hermeneutika
Dalam Being and Time, Heidegger mewanti-wanti pada
kita yang sedang suka memahami agar bisa membedakan antara nafsu (fore-structure)
dan tujuan. Ketika sedang memahami sesuatu, kita rentan terjebak dalam upaya
untuk mengukuhkan apa yang sudah menjadi keyakinan kita daripada menjelaskan apa
adanya objek pemahaman. Kegagalan menyadarinya berdampak pada langgengnya
dominasi kesalahpahaman dalam diri kita yang bisa menghalangi kita untuk
menjadi autentik. Heidegger (1962: 195) menulis:
“This circle of
understanding is not an orbit in which any random kind of knowledge may move;
it is the expression of the existential fore-structure of Dasein itself. It is
not to be reduced to the level of a vicious circle, or even of a circle which
is merely tolerated. In the circle is hidden a positive possibility of the most
primordial kind of knowing. To be sure, we genuinely take hold of this
possibility only when, in our interpretation, we have understood that our
first, last, and constant task is never to allow our fore-having, fore-sight,
and fore-conception to be presented to us by fancies and popular conceptions,
but rather to make the scientific theme secure by working out these
fore-structures in terms of the things themselves. Because understanding, in
accordance with its existential meaning, is Dasein's own
potentiality-for-Being, the ontological presuppositions of historiological
knowledge transcend in principle the idea of rigour held in the most exact
sciences.”
Heidegger membicarakan ini dalam konteks bagaimana
pemahaman dan penafsiran, bila dilakukan dengan baik dan hati-hati, bisa
membantu kita untuk memiliki dasein, sehingga memudahkan kita menjadi
manusia autentik. Meski demikian, Gadamer (2004) menggunakannya sebagai
landasan untuk mengungkap kondisi-kondisi sebuah proses pemahaman bisa terjadi
secara sahih, yang ini kemudian menggiringnya untuk mengenalkan apa yang ia
sebut effective history.
Satu pertanyaan yang mengganggu tidur Gadamer adalah
bagaimana hermeneutika—setelah dibebaskan dari wacana objektivitas yang menghambat—mampu
mempromosikan keadilan pada kesejarahan proses pemahaman manusia. Ketika kita
memahami sesuatu, apa pun itu, sebenarnya kita berhadapan dengan dua hal yang
asing: sesuatu yang kita pahami dan kesejarahan kita sendiri (fore-structure,
pre-understanding, fore-meaning, dkk.). Kita bisa menilai suatu kondisi
sebagai memahami ketika di dalamnya ada proses penafsiran oleh pembaca terhadap
teks. Proses penafsiran selalu melibatkan fore-meaning atau
pra-pemahaman pembaca dan ini bisa berupa apa pun. Bagaimana pemahaman pembaca
terhadap teks dipengaruhi sama sekali oleh fore-meaning tersebut yang
sebab ini, Gadamer tidak percaya pada objektivitas. Gadamer (2004: 270)
menulis, “The only ‘objectivity’ here is the confirmation of a fore-meaning
in its being worked out.”
Gadamer berpendapat tujuan dari proses menafsirkan adalah
lahirnya suatu pemahaman terhadap teks. Ketika aku bilang “pemahaman terhadap
teks”, yang kumaksud adalah pemahaman sebagai hasil ekstraksi dari perpaduan
antara struktur teks dan pra-struktur pembaca. Sikap pembaca pada dua hal
tersebut berdampak besar pada munculnya sebuah “pemahaman” dalam arti yang
sesungguhnya. Meski demikian, banyak pembaca gagal mencapainya karena mengalami
distraksi oleh pra-pemahamannya sendiri di tengah proses menafsirkan.
Mudahnya, dalam proses penafsiran, pembaca dihadapkan
pada tiga level situasi: pemahaman terhadap proses pemahaman, pemahaman pada
pra-pemahaman, dan pemahaman pada teks. Untuk sampai pada struktur teks,
pembaca harus terlebih dulu menyadari bahwa ia sedang berupaya untuk
memahami—yang dari sini, ia diharapkan untuk menyadari adanya pra-pemahaman—dan
memahami pra-pemahaman seperti apa yang memengaruhi proses penafsirannya. Bila
dua level ini selesai, pembaca baru bisa memahami teks. Kendati begitu, cerita
belum selesai. Ketika berhadapan dengan teks, ia tidak bisa langsung berupaya
menggali maknanya sekadar melalui aspek semantiknya, tetapi juga struktur yang
lain.
Dari ulasan di atas, kita bisa mengetahui bahwa lingkaran
hermeneutika meliputi kondisi seperti apa yang memungkinkan proses memahami
bisa terjadi dan interaksi yang rumit antara pembaca, teks, dan pengarang. Dua
hal ini setidaknya merupakan aspek mendasar untuk menjelaskan terjadinya suatu
praktik penafsiran, termasuk penafsiran Al-Quran. Pada bagian selanjutnya, aku
berupaya menggunakannya untuk membaca praktik penafsiran konvensional—dalam
arti penafsiran yang menggunakan media kertas atau yang dicetak dalam bentuk print
out—dan penafsiran melalui platform media sosial.
Praktik penafsiran konvensional dan di media sosial
Apa yang kita bahas sebelumnya tentang proses
penafsiran—secara umum—adalah apa yang terjadi pada Tha’labi ketika menafsirkan
Al-Quran dan melahirkan al-Kashf wa al-Bayan atau pada kita ketika
memutuskan untuk mengisi waktu luang saat Ramadan dengan menulis tafsir dan
menerbitkannya untuk kemudian dibaca khalayak. Artinya, ketika memutuskan untuk
memahami Al-Quran, prinsip-prinsip pemahaman Gadamer berlaku untuk
kita—kendatipun ada banyak prinsip penafsiran lainnya. Posisi kita adalah
sebagai pembaca yang sedang berdialektika dengan teks Al-Quran. Bila ingin
adil, kita bisa mengikuti prinsip Gadamer, yaitu dengan meraba fore-structure
dalam diri kita dan memahaminya sebelum masuk pada teks. Di waktu
bersamaan, kita dituntut juga untuk menyelami struktur teks, hingga ke level
pengarangnya sebagai sebuah keseluruhan (whole).
Untuk konteks penafsiran Al-Quran di media sosial, pola
yang terjadi sedikit berbeda—tetapi secara garis besar masih sama. Ketika kita
memahami Al-Quran di Facebook sekaligus mengunggahnya untuk dibaca banyak
orang, posisi kita tidak saja sebagai pembaca tetapi juga pengarang. Kelindan
antara pembaca dan pengarang dibahas oleh Ricoeur dalam Interpretation
Theory: Discourse and the Surplus of Meaning (1976). Ricoeur (1976:
71) menegaskan seorang pembaca pada dasarnya adalah seorang penulis. Aktivitas
memahami dan menjelaskan merupakan dua sisi koin. Keduanya terikat secara
dialektis. Untuk sampai pada level comprehension dan melampaui sekadar understanding—yang
lebih bersifat tebakan—pembaca perlu menjelaskan hasil pemahamannya, yang
dititik ini, ia menjelma pengarang. Pola ini bergulir dan kira-kira inilah
lingkaran hermeneutika versi Ricoeur. Ricoeur (1976: 71-72) menulis:
“Without imposing too mechanical a
correspondence between the inner structure of the text as the discourse of the
writer and the process of interpretation as the discourse of the reader on our
discussion, it may be said, at least in an introductory fashion, that
understanding is to reading what the event of discourse is to the utterance of
discourse and that explanation is to reading what the verbal and textual
autonomy is to the objective meaning of discourse. A dialectical structure of
reading therefore corresponds to the dialectical structure of discourse.”
Meski demikian, menggunakan pandangan Ricoeur untuk
membaca praktik penafsiran di media sosial tidak sepenuhnya tepat. Sebab
orang-orang yang menafsirkan Al-Quran melalui platform media sosial selalu
terburu-buru. Alih-alih berniat mencapai comprehension melalui berbagi (explanation)
tafsir di media sosial, pada adanya proses penafsiran sebagaimana tersebut saja
kukira mereka tidak tahu. Dalam upayanya untuk menemukan landasan filosofis
untuk hermeneutika digital, Romele (2020: 104-105) secara ragu-ragu merujuk
diskusi Ricoeur tentang mimesis. Ia mengatakan dalam satu waktu seorang
pengarang pasti memiliki satu buku dan satu pembaca. Ia membahas ini dalam
konteks lingkaran hermeneutika yang terjadi di media sosial bahwa antara
pembaca dan desainer teknologi saling terikat. Pembaca atau user menafsirkan
apa saja yang ditampilkan oleh mesin di berandanya dan di waktu bersamaan,
mesin membaca kebiasaan user sebagai sebentuk data mining atau machine
learning yang kemudian dioleh menjadi data yang nantinya akan dikonsumsi
kembali oleh user (Romele 2020: 108-109).
Apa yang disampaikan Romele tentu tidak bisa begitu saja
kita gunakan untuk melihat praktik penafsiran Al-Quran di media sosial.
Pertama, dalam praktik penafsiran Al-Quran, pembaca/penafsir tidak bergantung
pada konten di media sosial melainkan teks Al-Quran. Kedua, narasi tentang
tafsir Al-Quran jarang menjadi isu dominan di media sosial, sehingga mesin
tidak menganggapnya sebagai data yang layak diberi perhatian lebih untuk
kemudian diolah dan bisa dikonsumsi balik oleh user. Meski demikian,
dalam hal bahwa Romele menegaskan pentingnya mendiskusikan kembali ontologi
pemahaman dan penafsiran di media sosial, kita perlu mempertimbangkan
tawarannya.
Terlepas dari proses pemahaman pembaca/penafsir Al-Quran
melalui media sosial, ada satu hal yang membuatnya tidak berbeda dari yang
terjadi dalam praktik penafsiran Al-Quran melalui media konvensional, yaitu
bahwa proses pemahaman dilakukan oleh manusia yang kita sebut pembaca. Bila pun
ada diskusi adalah antara pembaca dan dirinya sendiri, sebagaimana disebutkan
oleh Gadamer—untuk menyadari segala fore-structure yang melekat dalam
diri pembaca. Sebagai platform untuk terhubung dengan orang lain dan untuk berbagi—walaupun
ini sudah diperbarui oleh Mark Zuckerberg—media sosial tidak memungkinkan user
untuk mengalami diskusi dalam diam dengan sesuatu yang lain dari dirinya
sendiri dalam membaca/menafsirkan Al-Quran. Lalu, AI hadir dan menawarkan apa
yang absen tersebut. Pertanyaannya, berdasarkan bentuk naturalnya sebagai
asisten untuk mendukung aktivitas mental dan kognitif user, siapakah
pembaca/penafsir dalam AI? Bagian selanjutnya akan mengupas sedikit tentang
ini.
Praktik penafsiran dalam AI
Sebelum masuk pada diskusi, kurasa kita perlu sepakat di
sini bahwa AI—yang dalam hal ini kuambil contoh ChatGPT—berbeda dari media
sosial. Media sosial adalah suatu platform tempat kita bisa berbagi apa pun,
diketahui oleh siapa pun, dan direspons oleh yang tertarik atau sekadar yang
sedang cari perhatian. Adapun AI lebih pada asisten yang kita bisa bertanya apa
pun padanya dan bersifat privat. Tujuan seseorang menggunakan AI bukan untuk
berbagi dan terhubung dengan orang lain melainkan untuk mencari jawaban dari
suatu pertanyaan, meningkatkan kualitas pengetahuan, dan mungkin saja sekadar
membutuhkan teman untuk cerita dengan tanpa diketahui oleh orang lain. Kita
bisa menyebut AI platform, tapi platform untuk mengerjakan suatu proyek yang
sekali lagi dengan tanpa diketahui oleh orang lain.
Secara default, keduanya berbeda, sehingga kita
tidak bisa membaca praktik penafsiran Al-Quran dalam AI melalui kacamata yang
sama dengan yang kita gunakan untuk mendekati praktik penafsiran konvensional
dan media sosial. Yang paling mencolok adalah pembaca/penafsir dalam AI tidak
hanya manusia atau user tapi juga robot dengan segenap teknologinya
seperti Large Language Model (LLM), Natural Language Generation
(NLG), Natural Language Processing (NLP), Deep Learning, Transformer
Architecture, dan Reinforcement Learning from Human Feedback (RLHF).
Segala pemrosesan data tafsir dalam AI tidak dilakukan oleh user, tetapi
oleh robot. Namun, robot tidak bisa melakukannya tanpa ada perintah dari user
melalui prompt.
Sekilas kita bisa beranggapan, pembaca/penafsir Al-Quran dalam AI adalah robot. Sebab segala proses kunci penafsiran seperti mencari data, menulis hasil, dan bahkan membaca struktur teks—atau horizon teks, bahasa Gadamer—dikerjakan oleh robot. Namun, akurasi AI dalam merespons perintah untuk menafsirkan Al-Quran bergantung pada kualitas prompt. Artinya, user betapa pun memiliki peran di dalamnya. Lantas, bagaimana kita menjelaskan praktik penafsiran Al-Quran seperti ini? Kita bisa mendiskusikannya seharian, tapi sebagai upaya awal ada dua hal yang perlu kita perhatikan: subjek penafsiran dan kolaborasi user-AI sebagai pembaca/pengarang.
Subjek Penafsiran
Subjek atau sesuatu yang dipahami dalam praktik
penafsiran Al-Quran dalam AI bukanlah teks Al-Quran melainkan metateks.
Metateks merujuk pada teks sekunder yang lahir dari teks utama (maintext
atau primary text). Dalam konteks Al-Quran, ia bisa berupa tafsir,
terjemahan Al-Quran, pandangan para peneliti Al-Quran dan Tafsir, hasil generate
AI, dan bahkan prompt-prompt yang digunakan user. Boleh jadi,
bila user memiliki kesadaran tentang pentingnya aspek semantik Al-Quran
dalam proses menafsirkan, ia akan meminta AI untuk menampilkan langsung ayat
Al-Quran atau maintext. Namun penting dicatat bahwa pada tahap
selanjutnya, kendati AI sudah menampilkan maintext, pihak yang memproses
bukanlah user melainkan robot. Di samping itu, andai kata user
jeli dan intervensi pada kerja mesin melalui prompt-prompt yang kritis,
tetap saja ia tidak bisa melakukan analisis linguistik secara detail dan bebas.
Pertama sebab responsnya terikat pada hasil generate robot. Kedua karena
ia tidak langsung mengalami apa itu yang Gadamer sebut event dalam
menafsirkan Al-Quran sejak situasi tersebut menuntut adanya perjumpaan langsung
dengan Al-Quran.
Tidak adanya sentuhan langsung dengan teks Al-Quran pada
praktik penafsiran dalam AI memiliki implikasi yang serius pada wacana
hermeneutik. Pertama, penafsiran yang dihasilkan tidak bermakna sebab suatu
pemahaman dalam arti yang sesungguhnya (meaningfulness) selalu lahir
melalui perjumpaan langsung pembaca/penafsir dengan teks. Ketika mendiskusikan
mimesis, Ricoeur menegaskan bahwa pada tahap mimesis3, teks sebagai
representasi dari realitas yang melingkupinya berhadapan dengan
pembaca/pengarang yang memiliki realitasnya sendiri. Perjumpaan dua horizon
tersebut, setelah melewati tahapan appropriation yang rumit, pada
akhirnya akan melahirkan meaningfulness. Proses ini tidak terjadi dalam
praktik penafsiran di AI, sehingga tidak ada yang bernilai transformatif dalam
setiap produknya. Ricoeur (1988: 158) menjelaskan sebagai berikut:
"From Gadamer we have learned that
application is not a contingent appendix added onto understanding and
explanation but an organic part of every hermeneutic project. But the problem
of application—to which elsewhere I have given the name “appropriation”—is far
from being a simple one. It can no more receive a direct solution than can the
problem of standing for the past, whose counterpart it is in the realm of
fiction. It has its own dialectic, which, without resembling in any exact way
that of the Gegenüber characteristic of the relation of standing-for, does
generate comparable difficulties. Indeed, it is only through the mediation of
reading that the literary work attains complete significance, which would be to
fiction what standing-for is to history."
Kedua, apa yang sebenarnya terjadi pada praktik penafsiran dalam AI bukanlah penafsiran Al-Quran melainkan penafsiran terhadap penafsiran Al-Quran. Pembaca/pengarang yang memahami Al-Quran dalam AI seperti sedang melakukan simulasi. Sebab apa yang sebenarnya ditampilkan oleh AI sebagai respons terhadap prompt user adalah kumpulan tafsir-tafsir yang berserakan dalam big data, terjemahan-terjemahan yang tendensius, dan ringkasan-ringkasan umum, bukan hasil analisis mendalam pada fore-structure user atau realitas teks. Karena simulasi, apa yang dihasilkan pun tidak bisa menyentuh realitas, apalagi mengubahnya, padahal fungsi utama memahami—setidaknya menurut Heidegger dan Ricoeur—adalah untuk keperluan transformatif atau agar hidup kita lebih bermakna dan bahagia.
User-AI sebagai pembaca/pengarang
Pembaca/pengarang pada praktik penafsiran dalam AI adalah
kolaborasi antara manusia dan robot atau user-AI. Di antara yang lain,
ini adalah bagian yang paling membedakan hermeneutika dalam AI dari
hermeneutika konvensional dan media sosial. Meski demikian, ada harga yang
harus dibayar untuk posisi tersebut, yaitu bahwa sebetulnya kita tidak bisa
menyebut praktik penafsiran dalam AI sebagai sebuah proses penafsiran—dari sisi
filsafat hermeneutika. Sebab aktivitas memahami menyaratkan adanya kesadaran
dan upaya untuk menyelami diri sendiri sebelum kemudian berhadapan dengan teks,
yang ini tidak bisa dilakukan oleh user AI.
Boleh jadi, user yang sadar akan membuat prompt
yang detail meliputi segenap pra-pemahaman yang ia miliki. Namun, lagi-lagi,
ujung tombak praktik penafsiran dalam AI adalah robot dan dalam hal ini robot
tidak bisa mengakses kesejarahan seseorang. Heidegger (1962: 195) menyebut itu
aspek primordial dari manusia, sedangkan Gadamer (2004: 278) menggambarkannya
dengan mengatakan bahwa kita tidak pernah benar-benar memiliki sejarah, tetapi
sejarah yang memiliki kita. Selain itu, pra-pemahaman bersifat relasional,
dalam arti bergantung pada detail teks yang dibaca. Artinya, bila user
menjelaskan pra-pemahamannya melalui prompt tapi ia tidak berjumpa
langsung dengan teks Al-Quran, hasilnya bohong. Bisa dipastikan apa yang
dinarasikan dalam prompt bukanlah pra-pemahaman sebagaimana yang Gadamer
maksud.
Seumpama kita menganggap kerja sama user-AI dalam
memroses data tafsir sebagai praktik penafsiran, ia pun harus menghadapi setidaknya
dua tantangan. Pertama, praktik penafsiran sebagai sebuah event (Gadamer
2004: xxii, 85) tidak terjadi dalam diri user melainkan metateks, yang
aku tidak tahu pasti apakah Gadamer akan setuju atau tidak untuk tetap
menyebutnya event. Kedua, sebagaimana ditegaskan Heidegger, memahami dan
menafsirkan adalah tentang eksistensi pembaca/pengarang sebagai manusia. Dalam
konteks AI, user berperan pasif, sehingga bisa dikatakan apa saja yang
ada dalam proses penafsiran dalam AI terjadi tanpa arah dan makna. Di sisi
lain, user pun tidak memiliki ide sama sekali tentang bagaimana AI
memroses data tafsir sejak apa yang AI tampilkan selalu berupa penjelasan yang
siap ditelan.
Tapi, apakah memang kita benar-benar tidak bisa
memperjuangkan event of interpretation atau mimesis3 terjadi
dalam AI? Bacaanku pada Heidegger, Gadamer, dan Ricoeur masih sangat terbatas.
Apa yang kuulas di sini hanya upaya awal yang tentu membutuhkan tindak lanjut
yang lebih serius. Selama beberapa bulan menyelami dan berdiskusi dengan beberapa
teman dan mahasiswa, aku merasa kita masih bisa menemukan makna (embodied)
dan melakukan appropriation dalam AI. Di lain waktu, sambil menanti
malam jatuh, aku berencana mendiskusikannya.
Referensi
Gadamer,
Hans-Georg. Truth and Method. Second, Revised Edtition. Trans. revised
by Joel Weinsheimer dan Donald G. Marshal. London: Continuum. 2004.
Heidegger, Martin.
Being and Time. Trans. by John Macquarrie & Edward Robinson. Oxford:
1962.
Ricoeur, Paul. Interpretation
Theory: Discourse and the Surplus of Meaning. Texas: The Texas Christian
University Press. 1976.
Ricoeur, Paul. Time
and Narrative. Volume 3. Trans. by Kathleen Blamey dan David Pellauer.
Chicago: The University of Chicago Press. 1988.
Romele, Alberto. Digital
Hermeneutics: Philosophical Investigation in New Media and Technologies. New
York: Routledge. 2020.
Comments
Post a Comment