Problem Hermeneutika Al-Quran dalam Artificial Intelligence

 

Oleh: Muhammad Saifullah

Contradixie, Esai—Kemarin, seperti biasa di akhir pekan, aku dan beberapa teman menghabiskan sore di Warung Kopi dekat Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) Yogyakarta. Di samping kami, ada beberapa mahasiswa, tiga cewek dan satu cowok, sedang mengenang hasil partisipasi mereka dalam sebuah seminar tentang perkembangan tafsir Al-Quran dari masa awal hingga digital di kampus Islam utara. Salah satu dari mereka merangkum hasil diskusi dan menyimpulkan bahwa, siapa pun tidak bisa menggunakan kacamata atau teori yang lahir tafsir-tafsir klasik untuk membaca tafsir di media sosial.

Itu terdengar progresif. Keren! Pasti narasumbernya memukau, batinku. Tapi, penilaianku kutarik ketika doi melanjutkan ulasannya: “Tafsir di media sosial, karena medianya berbeda dari tafsir klasik, melahirkan cara baca baru yang kita bisa menggunakan ini untuk penafsiran Al-Quran di Artificial Intelligence (AI).” Aku berupaya mencerna pelan hasil curi-curi dengarku pada diskusi mereka dan lalu mencoba bertanya dalam diam: apakah benar teori yang lahir dari tafsir di media sosial bisa digunakan untuk membaca tafsir dalam AI?

Eh sebentar, barangkali pertanyaanku terlalu husnuzan: apakah sudah ada kesepakatan di antara para sarjana tentang pendekatan untuk mengkaji tafsir Al-Quran di media sosial? Atau apakah sudah ada teori yang telah diterima banyak sarjana untuk mendekati tafsir Al-Quran di media sosial? Mereka asyik dan bangga dengan partisipasinya pada seminar, tapi kenapa justru aku yang rumit dengan berbagai pertanyaanku ini. Entah.

Sambil menikmati momen ngupi—yang semakin ke sini, semakin jarang kami tunaikan—aku mengingat-ingat tipis sekaligus meminta pendapat pada temanku. Kami sepakat ternyata, di bidang studi Al-Quran dan Tafsir, diskusi dalam arti sesungguhnya jarang terjadi. Banyak peneliti Al-Quran dan Tafsir fokus pada isu dan bahkan teorinya sendiri dengan tanpa memedulikan apa yang sedang para sarjana di luar sana bicarakan. Mereka membahas tentang Living Quran misalnya dan meyakininya sebagai isu besar, tapi sarjana Al-Quran dan Tafsir di Malaysia, Singapura, Jepang, Jerman, dan sebagainya tidak mengenalinya. Ini aneh dan lebih unik, itu menjadi nama mata kuliah.  

Aku membayangkan, diskusi akademik seperti makan malam di Blandongan. Para sarjana dari banyak negara membawa persoalan sekaligus hasil risetnya ke satu meja makan dan lalu mengupasnya: mengkritik, menolak, mendukung, mendapatkan konfirmasi, dan menyepakati. Diskusi berjalan sebab setiap detail yang diteliti mereka kaitkan dengan isu besar yang semua peserta makan malam sudah memahaminya. Dengan begini, proses verifikasi, falsifikasi, dan upaya yang dilakukan secara terus-menerus dan berkelanjutan bisa terjadi. Dampaknya, ilmu pengetahuan berkembang.

Sayangnya, itu belum banyak terjadi di Indonesia yang sebab ini kukira wajar bila ada kesimpulan sebagaimana di atas. Kembali pada pembahasan, yang ingin aku ulas di sini pada dasarnya adalah tentang klaim bahwa kita bisa menggunakan kacamata hermeneutika Al-Quran di media sosial untuk membaca praktik penafsiran Al-Quran di AI: apakah memungkinkan? Atau—barangkali pertanyaan yang lebih tepat begini—apakah upaya memahami Al-Quran dalam AI bisa kita sebut proses menafsirkan?

Lingkaran hermeneutika

Dalam Being and Time, Heidegger mewanti-wanti pada kita yang sedang suka memahami agar bisa membedakan antara nafsu (fore-structure) dan tujuan. Ketika sedang memahami sesuatu, kita rentan terjebak dalam upaya untuk mengukuhkan apa yang sudah menjadi keyakinan kita daripada menjelaskan apa adanya objek pemahaman. Kegagalan menyadarinya berdampak pada langgengnya dominasi kesalahpahaman dalam diri kita yang bisa menghalangi kita untuk menjadi autentik. Heidegger (1962: 195) menulis:

“This circle of understanding is not an orbit in which any random kind of knowledge may move; it is the expression of the existential fore-structure of Dasein itself. It is not to be reduced to the level of a vicious circle, or even of a circle which is merely tolerated. In the circle is hidden a positive possibility of the most primordial kind of knowing. To be sure, we genuinely take hold of this possibility only when, in our interpretation, we have understood that our first, last, and constant task is never to allow our fore-having, fore-sight, and fore-conception to be presented to us by fancies and popular conceptions, but rather to make the scientific theme secure by working out these fore-structures in terms of the things themselves. Because understanding, in accordance with its existential meaning, is Dasein's own potentiality-for-Being, the ontological presuppositions of historiological knowledge transcend in principle the idea of rigour held in the most exact sciences.”

Heidegger membicarakan ini dalam konteks bagaimana pemahaman dan penafsiran, bila dilakukan dengan baik dan hati-hati, bisa membantu kita untuk memiliki dasein, sehingga memudahkan kita menjadi manusia autentik. Meski demikian, Gadamer (2004) menggunakannya sebagai landasan untuk mengungkap kondisi-kondisi sebuah proses pemahaman bisa terjadi secara sahih, yang ini kemudian menggiringnya untuk mengenalkan apa yang ia sebut effective history.

Satu pertanyaan yang mengganggu tidur Gadamer adalah bagaimana hermeneutika—setelah dibebaskan dari wacana objektivitas yang menghambat—mampu mempromosikan keadilan pada kesejarahan proses pemahaman manusia. Ketika kita memahami sesuatu, apa pun itu, sebenarnya kita berhadapan dengan dua hal yang asing: sesuatu yang kita pahami dan kesejarahan kita sendiri (fore-structure, pre-understanding, fore-meaning, dkk.). Kita bisa menilai suatu kondisi sebagai memahami ketika di dalamnya ada proses penafsiran oleh pembaca terhadap teks. Proses penafsiran selalu melibatkan fore-meaning atau pra-pemahaman pembaca dan ini bisa berupa apa pun. Bagaimana pemahaman pembaca terhadap teks dipengaruhi sama sekali oleh fore-meaning tersebut yang sebab ini, Gadamer tidak percaya pada objektivitas. Gadamer (2004: 270) menulis, “The only ‘objectivity’ here is the confirmation of a fore-meaning in its being worked out.

Gadamer berpendapat tujuan dari proses menafsirkan adalah lahirnya suatu pemahaman terhadap teks. Ketika aku bilang “pemahaman terhadap teks”, yang kumaksud adalah pemahaman sebagai hasil ekstraksi dari perpaduan antara struktur teks dan pra-struktur pembaca. Sikap pembaca pada dua hal tersebut berdampak besar pada munculnya sebuah “pemahaman” dalam arti yang sesungguhnya. Meski demikian, banyak pembaca gagal mencapainya karena mengalami distraksi oleh pra-pemahamannya sendiri di tengah proses menafsirkan.

Mudahnya, dalam proses penafsiran, pembaca dihadapkan pada tiga level situasi: pemahaman terhadap proses pemahaman, pemahaman pada pra-pemahaman, dan pemahaman pada teks. Untuk sampai pada struktur teks, pembaca harus terlebih dulu menyadari bahwa ia sedang berupaya untuk memahami—yang dari sini, ia diharapkan untuk menyadari adanya pra-pemahaman—dan memahami pra-pemahaman seperti apa yang memengaruhi proses penafsirannya. Bila dua level ini selesai, pembaca baru bisa memahami teks. Kendati begitu, cerita belum selesai. Ketika berhadapan dengan teks, ia tidak bisa langsung berupaya menggali maknanya sekadar melalui aspek semantiknya, tetapi juga struktur yang lain. 

Dari ulasan di atas, kita bisa mengetahui bahwa lingkaran hermeneutika meliputi kondisi seperti apa yang memungkinkan proses memahami bisa terjadi dan interaksi yang rumit antara pembaca, teks, dan pengarang. Dua hal ini setidaknya merupakan aspek mendasar untuk menjelaskan terjadinya suatu praktik penafsiran, termasuk penafsiran Al-Quran. Pada bagian selanjutnya, aku berupaya menggunakannya untuk membaca praktik penafsiran konvensional—dalam arti penafsiran yang menggunakan media kertas atau yang dicetak dalam bentuk print out—dan penafsiran melalui platform media sosial.

Praktik penafsiran konvensional dan di media sosial

Apa yang kita bahas sebelumnya tentang proses penafsiran—secara umum—adalah apa yang terjadi pada Tha’labi ketika menafsirkan Al-Quran dan melahirkan al-Kashf wa al-Bayan atau pada kita ketika memutuskan untuk mengisi waktu luang saat Ramadan dengan menulis tafsir dan menerbitkannya untuk kemudian dibaca khalayak. Artinya, ketika memutuskan untuk memahami Al-Quran, prinsip-prinsip pemahaman Gadamer berlaku untuk kita—kendatipun ada banyak prinsip penafsiran lainnya. Posisi kita adalah sebagai pembaca yang sedang berdialektika dengan teks Al-Quran. Bila ingin adil, kita bisa mengikuti prinsip Gadamer, yaitu dengan meraba fore-structure dalam diri kita dan memahaminya sebelum masuk pada teks. Di waktu bersamaan, kita dituntut juga untuk menyelami struktur teks, hingga ke level pengarangnya sebagai sebuah keseluruhan (whole).

Untuk konteks penafsiran Al-Quran di media sosial, pola yang terjadi sedikit berbeda—tetapi secara garis besar masih sama. Ketika kita memahami Al-Quran di Facebook sekaligus mengunggahnya untuk dibaca banyak orang, posisi kita tidak saja sebagai pembaca tetapi juga pengarang. Kelindan antara pembaca dan pengarang dibahas oleh Ricoeur dalam Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning (1976). Ricoeur (1976: 71) menegaskan seorang pembaca pada dasarnya adalah seorang penulis. Aktivitas memahami dan menjelaskan merupakan dua sisi koin. Keduanya terikat secara dialektis. Untuk sampai pada level comprehension dan melampaui sekadar understanding—yang lebih bersifat tebakan—pembaca perlu menjelaskan hasil pemahamannya, yang dititik ini, ia menjelma pengarang. Pola ini bergulir dan kira-kira inilah lingkaran hermeneutika versi Ricoeur. Ricoeur (1976: 71-72) menulis:

Without imposing too mechanical a correspondence between the inner structure of the text as the discourse of the writer and the process of interpretation as the discourse of the reader on our discussion, it may be said, at least in an introductory fashion, that understanding is to reading what the event of discourse is to the utterance of discourse and that explanation is to reading what the verbal and textual autonomy is to the objective meaning of discourse. A dialectical structure of reading therefore corresponds to the dialectical structure of discourse.

Meski demikian, menggunakan pandangan Ricoeur untuk membaca praktik penafsiran di media sosial tidak sepenuhnya tepat. Sebab orang-orang yang menafsirkan Al-Quran melalui platform media sosial selalu terburu-buru. Alih-alih berniat mencapai comprehension melalui berbagi (explanation) tafsir di media sosial, pada adanya proses penafsiran sebagaimana tersebut saja kukira mereka tidak tahu. Dalam upayanya untuk menemukan landasan filosofis untuk hermeneutika digital, Romele (2020: 104-105) secara ragu-ragu merujuk diskusi Ricoeur tentang mimesis. Ia mengatakan dalam satu waktu seorang pengarang pasti memiliki satu buku dan satu pembaca. Ia membahas ini dalam konteks lingkaran hermeneutika yang terjadi di media sosial bahwa antara pembaca dan desainer teknologi saling terikat. Pembaca atau user menafsirkan apa saja yang ditampilkan oleh mesin di berandanya dan di waktu bersamaan, mesin membaca kebiasaan user sebagai sebentuk data mining atau machine learning yang kemudian dioleh menjadi data yang nantinya akan dikonsumsi kembali oleh user (Romele 2020: 108-109).

Apa yang disampaikan Romele tentu tidak bisa begitu saja kita gunakan untuk melihat praktik penafsiran Al-Quran di media sosial. Pertama, dalam praktik penafsiran Al-Quran, pembaca/penafsir tidak bergantung pada konten di media sosial melainkan teks Al-Quran. Kedua, narasi tentang tafsir Al-Quran jarang menjadi isu dominan di media sosial, sehingga mesin tidak menganggapnya sebagai data yang layak diberi perhatian lebih untuk kemudian diolah dan bisa dikonsumsi balik oleh user. Meski demikian, dalam hal bahwa Romele menegaskan pentingnya mendiskusikan kembali ontologi pemahaman dan penafsiran di media sosial, kita perlu mempertimbangkan tawarannya.

Terlepas dari proses pemahaman pembaca/penafsir Al-Quran melalui media sosial, ada satu hal yang membuatnya tidak berbeda dari yang terjadi dalam praktik penafsiran Al-Quran melalui media konvensional, yaitu bahwa proses pemahaman dilakukan oleh manusia yang kita sebut pembaca. Bila pun ada diskusi adalah antara pembaca dan dirinya sendiri, sebagaimana disebutkan oleh Gadamer—untuk menyadari segala fore-structure yang melekat dalam diri pembaca. Sebagai platform untuk terhubung dengan orang lain dan untuk berbagi—walaupun ini sudah diperbarui oleh Mark Zuckerberg—media sosial tidak memungkinkan user untuk mengalami diskusi dalam diam dengan sesuatu yang lain dari dirinya sendiri dalam membaca/menafsirkan Al-Quran. Lalu, AI hadir dan menawarkan apa yang absen tersebut. Pertanyaannya, berdasarkan bentuk naturalnya sebagai asisten untuk mendukung aktivitas mental dan kognitif user, siapakah pembaca/penafsir dalam AI? Bagian selanjutnya akan mengupas sedikit tentang ini.

Praktik penafsiran dalam AI

Sebelum masuk pada diskusi, kurasa kita perlu sepakat di sini bahwa AI—yang dalam hal ini kuambil contoh ChatGPT—berbeda dari media sosial. Media sosial adalah suatu platform tempat kita bisa berbagi apa pun, diketahui oleh siapa pun, dan direspons oleh yang tertarik atau sekadar yang sedang cari perhatian. Adapun AI lebih pada asisten yang kita bisa bertanya apa pun padanya dan bersifat privat. Tujuan seseorang menggunakan AI bukan untuk berbagi dan terhubung dengan orang lain melainkan untuk mencari jawaban dari suatu pertanyaan, meningkatkan kualitas pengetahuan, dan mungkin saja sekadar membutuhkan teman untuk cerita dengan tanpa diketahui oleh orang lain. Kita bisa menyebut AI platform, tapi platform untuk mengerjakan suatu proyek yang sekali lagi dengan tanpa diketahui oleh orang lain.

Secara default, keduanya berbeda, sehingga kita tidak bisa membaca praktik penafsiran Al-Quran dalam AI melalui kacamata yang sama dengan yang kita gunakan untuk mendekati praktik penafsiran konvensional dan media sosial. Yang paling mencolok adalah pembaca/penafsir dalam AI tidak hanya manusia atau user tapi juga robot dengan segenap teknologinya seperti Large Language Model (LLM), Natural Language Generation (NLG), Natural Language Processing (NLP), Deep Learning, Transformer Architecture, dan Reinforcement Learning from Human Feedback (RLHF). Segala pemrosesan data tafsir dalam AI tidak dilakukan oleh user, tetapi oleh robot. Namun, robot tidak bisa melakukannya tanpa ada perintah dari user melalui prompt.

Sekilas kita bisa beranggapan, pembaca/penafsir Al-Quran dalam AI adalah robot. Sebab segala proses kunci penafsiran seperti mencari data, menulis hasil, dan bahkan membaca struktur teks—atau horizon teks, bahasa Gadamer—dikerjakan oleh robot. Namun, akurasi AI dalam merespons perintah untuk menafsirkan Al-Quran bergantung pada kualitas prompt. Artinya, user betapa pun memiliki peran di dalamnya. Lantas, bagaimana kita menjelaskan praktik penafsiran Al-Quran seperti ini? Kita bisa mendiskusikannya seharian, tapi sebagai upaya awal ada dua hal yang perlu kita perhatikan: subjek penafsiran dan kolaborasi user-AI sebagai pembaca/pengarang.

Subjek Penafsiran

Subjek atau sesuatu yang dipahami dalam praktik penafsiran Al-Quran dalam AI bukanlah teks Al-Quran melainkan metateks. Metateks merujuk pada teks sekunder yang lahir dari teks utama (maintext atau primary text). Dalam konteks Al-Quran, ia bisa berupa tafsir, terjemahan Al-Quran, pandangan para peneliti Al-Quran dan Tafsir, hasil generate AI, dan bahkan prompt-prompt yang digunakan user. Boleh jadi, bila user memiliki kesadaran tentang pentingnya aspek semantik Al-Quran dalam proses menafsirkan, ia akan meminta AI untuk menampilkan langsung ayat Al-Quran atau maintext. Namun penting dicatat bahwa pada tahap selanjutnya, kendati AI sudah menampilkan maintext, pihak yang memproses bukanlah user melainkan robot. Di samping itu, andai kata user jeli dan intervensi pada kerja mesin melalui prompt-prompt yang kritis, tetap saja ia tidak bisa melakukan analisis linguistik secara detail dan bebas. Pertama sebab responsnya terikat pada hasil generate robot. Kedua karena ia tidak langsung mengalami apa itu yang Gadamer sebut event dalam menafsirkan Al-Quran sejak situasi tersebut menuntut adanya perjumpaan langsung dengan Al-Quran.

Tidak adanya sentuhan langsung dengan teks Al-Quran pada praktik penafsiran dalam AI memiliki implikasi yang serius pada wacana hermeneutik. Pertama, penafsiran yang dihasilkan tidak bermakna sebab suatu pemahaman dalam arti yang sesungguhnya (meaningfulness) selalu lahir melalui perjumpaan langsung pembaca/penafsir dengan teks. Ketika mendiskusikan mimesis, Ricoeur menegaskan bahwa pada tahap mimesis3, teks sebagai representasi dari realitas yang melingkupinya berhadapan dengan pembaca/pengarang yang memiliki realitasnya sendiri. Perjumpaan dua horizon tersebut, setelah melewati tahapan appropriation yang rumit, pada akhirnya akan melahirkan meaningfulness. Proses ini tidak terjadi dalam praktik penafsiran di AI, sehingga tidak ada yang bernilai transformatif dalam setiap produknya. Ricoeur (1988: 158) menjelaskan sebagai berikut:

"From Gadamer we have learned that application is not a contingent appendix added onto understanding and explanation but an organic part of every hermeneutic project. But the problem of application—to which elsewhere I have given the name “appropriation”—is far from being a simple one. It can no more receive a direct solution than can the problem of standing for the past, whose counterpart it is in the realm of fiction. It has its own dialectic, which, without resembling in any exact way that of the Gegenüber characteristic of the relation of standing-for, does generate comparable difficulties. Indeed, it is only through the mediation of reading that the literary work attains complete significance, which would be to fiction what standing-for is to history."

Kedua, apa yang sebenarnya terjadi pada praktik penafsiran dalam AI bukanlah penafsiran Al-Quran melainkan penafsiran terhadap penafsiran Al-Quran. Pembaca/pengarang yang memahami Al-Quran dalam AI seperti sedang melakukan simulasi. Sebab apa yang sebenarnya ditampilkan oleh AI sebagai respons terhadap prompt user adalah kumpulan tafsir-tafsir yang berserakan dalam big data, terjemahan-terjemahan yang tendensius, dan ringkasan-ringkasan umum, bukan hasil analisis mendalam pada fore-structure user atau realitas teks. Karena simulasi, apa yang dihasilkan pun tidak bisa menyentuh realitas, apalagi mengubahnya, padahal fungsi utama memahami—setidaknya menurut Heidegger dan Ricoeur—adalah untuk keperluan transformatif atau agar hidup kita lebih bermakna dan bahagia.

User-AI sebagai pembaca/pengarang

Pembaca/pengarang pada praktik penafsiran dalam AI adalah kolaborasi antara manusia dan robot atau user-AI. Di antara yang lain, ini adalah bagian yang paling membedakan hermeneutika dalam AI dari hermeneutika konvensional dan media sosial. Meski demikian, ada harga yang harus dibayar untuk posisi tersebut, yaitu bahwa sebetulnya kita tidak bisa menyebut praktik penafsiran dalam AI sebagai sebuah proses penafsiran—dari sisi filsafat hermeneutika. Sebab aktivitas memahami menyaratkan adanya kesadaran dan upaya untuk menyelami diri sendiri sebelum kemudian berhadapan dengan teks, yang ini tidak bisa dilakukan oleh user AI.

Boleh jadi, user yang sadar akan membuat prompt yang detail meliputi segenap pra-pemahaman yang ia miliki. Namun, lagi-lagi, ujung tombak praktik penafsiran dalam AI adalah robot dan dalam hal ini robot tidak bisa mengakses kesejarahan seseorang. Heidegger (1962: 195) menyebut itu aspek primordial dari manusia, sedangkan Gadamer (2004: 278) menggambarkannya dengan mengatakan bahwa kita tidak pernah benar-benar memiliki sejarah, tetapi sejarah yang memiliki kita. Selain itu, pra-pemahaman bersifat relasional, dalam arti bergantung pada detail teks yang dibaca. Artinya, bila user menjelaskan pra-pemahamannya melalui prompt tapi ia tidak berjumpa langsung dengan teks Al-Quran, hasilnya bohong. Bisa dipastikan apa yang dinarasikan dalam prompt bukanlah pra-pemahaman sebagaimana yang Gadamer maksud.

Seumpama kita menganggap kerja sama user-AI dalam memroses data tafsir sebagai praktik penafsiran, ia pun harus menghadapi setidaknya dua tantangan. Pertama, praktik penafsiran sebagai sebuah event (Gadamer 2004: xxii, 85) tidak terjadi dalam diri user melainkan metateks, yang aku tidak tahu pasti apakah Gadamer akan setuju atau tidak untuk tetap menyebutnya event. Kedua, sebagaimana ditegaskan Heidegger, memahami dan menafsirkan adalah tentang eksistensi pembaca/pengarang sebagai manusia. Dalam konteks AI, user berperan pasif, sehingga bisa dikatakan apa saja yang ada dalam proses penafsiran dalam AI terjadi tanpa arah dan makna. Di sisi lain, user pun tidak memiliki ide sama sekali tentang bagaimana AI memroses data tafsir sejak apa yang AI tampilkan selalu berupa penjelasan yang siap ditelan.

Tapi, apakah memang kita benar-benar tidak bisa memperjuangkan event of interpretation atau mimesis3 terjadi dalam AI? Bacaanku pada Heidegger, Gadamer, dan Ricoeur masih sangat terbatas. Apa yang kuulas di sini hanya upaya awal yang tentu membutuhkan tindak lanjut yang lebih serius. Selama beberapa bulan menyelami dan berdiskusi dengan beberapa teman dan mahasiswa, aku merasa kita masih bisa menemukan makna (embodied) dan melakukan appropriation dalam AI. Di lain waktu, sambil menanti malam jatuh, aku berencana mendiskusikannya.    

Referensi

Gadamer, Hans-Georg. Truth and Method. Second, Revised Edtition. Trans. revised by Joel Weinsheimer dan Donald G. Marshal. London: Continuum. 2004.

Heidegger, Martin. Being and Time. Trans. by John Macquarrie & Edward Robinson. Oxford: 1962.

Ricoeur, Paul. Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning. Texas: The Texas Christian University Press. 1976.

Ricoeur, Paul. Time and Narrative. Volume 3. Trans. by Kathleen Blamey dan David Pellauer. Chicago: The University of Chicago Press. 1988.

Romele, Alberto. Digital Hermeneutics: Philosophical Investigation in New Media and Technologies. New York: Routledge. 2020. 


Comments

Popular Posts