Kelahiran dan Kematian Bekerja dengan Caranya Sendiri (Bukan Pasar Malam-Pramoedya Ananta Toer)


 

Ketika mendengar istilah 'pasar malam', hal yang terlintas di kepala adalah keramaian, keriuhan, pedagang, wahana bermain, dan tentu saja sorak-sorai. Lalu apa yang terbayang ketika ditambahkan kata 'bukan' di depannya. Bukan pasar malam.

Mungkinkah kemudian terbayang sebuah keramaian, keriuhan, namun sama sekali tidak ada wahana bermain ataupun jajaran pedagang?

Saya bertanya pada suami apa kira-kira yang dibayangkannya ketika mendengar kalimat 'bukan pasar malam'. Jawabannya sama persis dengan yang saya juga pikirkan. Intinya, sesuatu yang meriah menyerupai pagelaran pasar malam.

Konon, ini adalah salah satu buku Pram yang tidak boleh dilewatkan.  Ia sedikit berbeda dari buku-buku milik Pram lainnya. Boleh dikata, kita akan berjumpa dengan sisi lain Pram dalam Bukan Pasar Malam ini.

Sudah ada sinopsis yang sedikit banyak bisa memberikan gambaran bagaimana kisah dalam buku ini dimulai. Ialah ketika seorang anak lelaki dewasa yang tinggal di Jakarta dipanggil pulang ke Blora karena ayahnya sedang sakit parah. 25 tahun si tokoh aku baru bisa kembali lagi ke kampung halamannya. Menjumpai ayahnya yang terbaring di rumah sakit, enam orang adiknya yang hidup melarat, dan rumahnya yang sudah teramat reot.

Membaca buku ini harus, atau setidaknya, menyiapkan mental dan juga tisu. Plot tentang ayah yang sakit dan anak yang akhirnya pulang menjenguk tidak bisa tidak menyisakan perasaan aneh di dalam diri. Baik bagi pembaca yang memang telah kehilangan ayahnya, atau bagi pembaca yang hidup di perantauan dan begitu jauh dari orangtua.

Namun bukan bagian itu saja yang rasanya memiuhkan hati. Bagiku, bagian lain yang bisa memicu kesedihan teramat sangat ialah adanya pembicaraan tentang sosok guru. Bahwa menjadi guru adalah sebuah jihad, dan siapa pun yang bercita-cita menjadi guru pastilah bukan orang sembarangan.

Perhatikan baik-baik beberapa kutipan di bawah:

“…. Sungguh penyakitnya bukan karena itu. Karena beliau minta kembali jadi guru itulah sebabnya. Limabelas-duapuluh kilometer mengayuh sepeda itu bukan perkara berat untuk seorang guru. Yang berat ialah mengajar, menelan pahit-getirnya kesalahan-kesalahan pendidikan orangtua si murid. Itulah yang gampang sekali menghancurkan seorang guru. Apalagi kalau di sekolah menengah seperti beliau. Sekolah menengah masih agak ringan bila tata tertib murid di kelasnya itu masih terpelihara. Cobalah kalau murid-murid di dalam kelasnya itu telah kehilangan tata tertib sama sekali, cobalah….”

“…. Seorang guru adalah kurban—kurban untuk selama-lamanya. Dan kewajibannya terlampau berat—membuka sumber kebajikan yang tersembunyi dalam tubuh anak-anak bangsa….”

Rasa-rasanya kita—negeri tercinta ini—tak pernah ke mana-mana. Jika membandingkan keadaan sekarang dengan keadaan ketika buku ini ditulis, nasib guru masih sama saja. Jauh dari kata sejahtera, padahal amanah yang diembannya mempertaruhkan masa depan generasi bangsa.

Hal lain yang membuatku bersimbah air mata Adalah obrolan antara tokoh aku dengan adiknya yang membahas kematian sang nenek. Si adik yang bingung mengapa neneknya yang sudah beberapa bulan hidup bersama di rumah mereka, justru meninggal saat datang melayat ke tempat tetangganya di dekat rumahnya di pinggir kota. Si adik sangat terganggu sebab neneknya justru meninggal di tempat yang sama sekali tidak lagi ada kerabatnya di sana. Bayangan tentang mulut sang nenek yang menciut kejang dianggapnya sebagai sebuah protes, tentang ketidaksukaannya pada perlakuan manusia yang diberikan padanya, tentang kesenangan hidup yang tidak dapat dicecapnya melebihi ujung kuku. Dan lagi, beberapa kutipan percakapan di bawah ini rasanya sulit dibantah.

“Sudah lebih dari tigapuluh tahun dia diam di sana, Adikku. Dan kakek pun meninggal di sana, Adikku …… kadang-kadang orang terlalu dekat, terlalu cinta pada gumpal tanah yang sudah berpuluh tahun didiaminya, yang selama itu memberi tempat padanya, yang selama itu memberi hasil yang boleh dimakannya. Dan kadang-kadang orang itu ingin mati di pangkuan gumpal tanah yang sekian lamanya ditumpanginya itu. Ya, kadang-kadang, Adikku.”

“Dan kadang-kadang, Adikku … kadang-kadang keinginannya itu terkabul dan meninggallah ia di pangkuan bumi yang sekian lama ditinggalinya itu.”

Lalu apa kaitannya semua ini dengan bukan pasar malam?

Kita akan mengetahuinya ketika akhirnya sang ayah meninggal dunia dan orang-orang datang melayat. Di antara banyaknya orang yang datang, terjadi percakapan di sudut pendopo. Mereka sedang membicarakan perjudian. Rasa kehilangan yang mereka rasakan karena teman seperjudiannya telah pergi mendahului. Lalu si Tionghoa yang sedari tadi banyak mengenang itu lalu melontarkan kalimat panjang.

“Ya, mengapa kita ini harus mati seorang diri? Lahir seorang diri pula? Dan mengapa kita ini harus hidup di satu dunia yang banyak manusianya? Dan kalau kita sudah bisa mencintai seorang manusia, dan orang itu pun mencintai kita—,”

“Seperti mendiang kawan kita itu misalnya—mengapa kemudian kita harus bercerai-berai dalam maut. Seorang. Seorang. Seorang. Dan seorang lagi lahir. Seorang lagi. Seorang lagi. Mengapa orang ini tidak ramai-ramai lahir dan ramai-ramai mati? Aku ingin dunia ini seperti pasar malam.”

Tiba di momen itu, siapa pun pasti akan merenung-renung. Mulai memikirkan bagaimana kelahiran, dan terutama kematian, ternyata punya caranya sendiri dalam bekerja. Hari ini kita mungkin mencintai seseorang begitu hebatnya, namun bila saatnya ia pergi, kita tetap harus melepaskannya. Kita tidak bisa saling berjanji untuk pergi bersama-sama. Sebab pada hakikatnya, kedatangan kita pun tidak berbarengan.

Sebelum mengakhiri ulasan ini, saya ingin menyatakan sedikit rasa keberatan pada penggambaran istri dari tokoh aku. Si istri yang beberapa kali mengingatkan suaminya untuk kembali ke Jakarta; sebelum berangkat ia sudah meminta agar tidak berlama-lama di Blora, dan ketika di Blora ia mengingatkan suaminya untuk segera kembali. Semuanya dilakukan karena mempertimbangkan uang yang mereka (tidak) miliki. Singkatnya, si istri bersikap begitu karena ia realistis. Namun bagi si suami, juga si penulis (?), si istri sungguhlah cerewet. Tapi mungkin saya beranggapan berbeda karena sebenarnya saya adalah seorang istri yang (juga) cerewet?  




Comments

Popular Posts