Ijazah Rektor Negeri Konoha

 

Sumber foto: Freepik.com

Ijazah itu dicetak di kertas tebal dengan lambang emas yang berkilat. Di bawahnya tertera tanda tangan dekan dan rektor lama, lengkap dengan cap basah fakultas. Semua tampak sah, tak ada yang berbeda dari ijazah lain yang pernah kusaksikan.

Aku mengenal pemiliknya sejak lama. Ia temanku, anak seorang guru besar yang disegani di kampus ini. Kami sering duduk bersama di kantin, membicarakan hal-hal remeh: musik, bisnis kecil-kecilan, atau sekadar gosip dosen. Ia jarang bicara soal kuliah karena, memang, ia tak pernah benar-benar seirus melakukannya. Tapi aku tidak pernah menganggap itu masalah. Ia selalu tampak percaya diri, dan aku suka caranya memandang hidup dengan enteng.

Aku sudah menjadi dosen muda di kampus. Suatu sore, selepas mengajar, aku melihatnya datang dengan mobil baru. Ia turun dengan senyum lebar dan langsung menyalamiku, seperti kami masih dua anak muda yang sering nongkrong di Kopas, kafe dekat kampus hijau..

“Aku dengar namamu sudah masuk daftar dosen tetap,” katanya. “Selamat, kawan. Kau akan jadi saksi aku dilantik jadi rektor.”

Aku terkekeh. “Jadi benar kabar itu?” tanyaku.

“Pastilah,” jawabnya mantap. “Jalannya sudah diatur. Sudah siap nanti jadi Kaprodi?”

Aku mengangguk. Bangga sekaligus senang. Beruntung sekali dulu ku akrabi dia. Memang kebaikan akan berbuah jabatan. Cahaya kebesaran dan pengaruh kuasanya pasti bisa kumanfaatkan.

Tibalah saat ia diangkat menjadi rektor. Aula kampus dipenuhi wajah-wajah gembira. Spanduk besar dengan fotonya terbentang di dinding, bunga berjajar di sepanjang panggung, dan musik mars perguruan tinggi berkumandang penuh khidmat.

Saat namanya dipanggil, ia melangkah mantap. Toga kebesaran dikenakan di pundaknya, kalung jabatan berkilat di dadanya. Orang-orang berdiri sambil bertepuk tangan panjang, dan aku ikut berdiri. Aku merasa benar-benar beruntung memiliki teman yang kini memimpin kampus.

Aku bangga padanya. Sejak dulu aku sudah tahu ia punya bakat besar: pandai berbicara, ramah kepada siapa saja, dan tidak pernah repot mengurusi hal-hal sepele seperti ujian atau tugas kuliah. Seseorang dengan kelebihan seperti itu memang seharusnya memimpin, bukan sibuk duduk di kelas.

Kini kampus kami resmi memiliki rektor terbaik. Semua orang mengakuinya. Para dosen tersenyum lega, mahasiswa berfoto bangga, dan berita tentang pelantikan itu segera menyebar ke media. Aku sendiri merasa lebih terhormat hanya karena menjadi temannya.

Hari-hari setelah ia resmi menjabat rektor terasa berbeda. Di ruang-ruang kampus, wajahnya terpampang di setiap sudut: di baliho, papan pengumuman, bahkan di layar screensaver komputer dosen. Kami seakan tidak bisa bergerak tanpa menatap senyumnya.

Ia memimpin rapat senat dengan gaya khasnya: sederhana, singkat, dan selalu penuh keyakinan. Jika ada dosen yang mengajukan usul tentang kualitas penelitian atau kurikulum, ia hanya tersenyum dan berkata, “Yang penting kampus kita terlihat hebat di luar. Urusan isi bisa dibicarakan nanti.” Semua orang mengangguk, karena siapa yang berani membantah seorang rektor yang begitu percaya diri?

Mahasiswa memujinya. Mereka bilang rektor baru mudah ditemui, sering mampir ke kantin, bahkan kadang ikut nongkrong. Itu dianggap sebagai bentuk kepemimpinan yang egaliter. Padahal, seingatku, ia hanya melanjutkan kebiasaannya yang dulu.

Suatu siang, dalam rapat, seorang dosen menyinggung soal riwayat akademik rektor baru yang tak pernah jelas. Pertanyaannya menggantung di udara, dingin dan tajam. Beberapa kepala menunduk, sebagian lain berpura-pura sibuk mencatat. Rektor hanya tertawa kecil, lalu berkata, “Ijazah itu sudah ada di arsip. Kalau mau lihat, silakan ajukan secara resmi.” Semua orang tertawa kaku, lalu rapat dilanjutkan seakan tak ada yang terjadi.

Seusai rapat, dosen itu dipanggil khusus. Esoknya ia tidak lagi mengajar mata kuliah favoritnya, melainkan dipindah menjadi pengurus administrasi program. Kabar itu beredar cepat. Sejak saat itu, tak ada lagi yang berani mengulang pertanyaan serupa. Di kantin, bisik-bisik soal ijazah hanya terdengar lirih, seperti doa yang tak ingin didengar langit.

Aku sendiri… memilih diam. Bukan karena tidak tahu, justru karena terlalu tahu. Apa gunanya melawan, kalau hasilnya hanya penyingkiran? Ijazahnya mungkin dicetak di atas kertas tebal, tanda tangannya mungkin hasil rekayasa, tapi bukankah kini ia sudah sah secara hukum dan upacara? Semua orang bertepuk tangan, media menulis pujian, mahasiswa bersorak. Aku ikut bertepuk tangan—bukan karena percaya, tapi karena ingin tetap aman. Beginilah dunia akademik masa kini berjalan, menjadi kertas dan cap basah yang diam, membenarkan kekuasaan.

 

Comments

Popular Posts