Cerita Salah Nongkrong

 




 

Kemarin sore aku dengan sengaja mengunjungi temanku di kosnya, sebenarnya aku penasaran apa yang sedang ia kerjakan di akhir-akhir ini. Sebab sudah seminggu lebih aku tak melihat status whatsApp dan cerita instagram yang biasa diunggahnya. Ia terkejut saat melihatku tiba-tiba berdiri tepat depan pintu kamarnya. Pintu kamar itu tidak tertutup dan tiba-tiba saja terdengar dari dalam kamar suara tak asing yang kukenal “Kenapa kamu tiba-tiba ke sini? Galau? Capek? sini masuk..”

Ternyata seorang teman (kami) yang sudah di kosnya sejak siang.

“Aku tahu kalian berdua ngga janjian, tapi lagi pada galau, kan?” Ucap temanku pemilik kamar kos pojokan itu. Aku tertawa dan menjawab “Kok jadi nongkrong ya ini? Haha…” 

Ia mempersilakanku untuk berbaring di kasurnya, dan menawariku segelas air putih. Kami bertukar kabar dan basa basi yang basi sekali sore itu. Kami bertiga memang akrab, dan rasanya sore itu pas sekali. Aku melihat pohon mangga di depan kamar kos, dan bertanya pada dua temanku.

“Rujakan enak nih, ada mangga nganggur...” Tanpa ada jawaban kami bertiga bergerak seakan tahu dan keluar mengambil mangga di depan kamar kos. Setelah itu, aku mengupas, dan dua temanku membuat sambalnya.

Asyik rujakan, agak kepedasan, satu temanku membuka topik obrolan “Ehh aku ada cerita, minggu lalu aku salah nongkrong. Hehe…”

Aku menanggapi, “Hah, gimana maksudnya?”

Akhirnya ia menceritakan, “Gini.. formatnya tiga orang. Tapi ngga kayak kita. Aku diajak ketemu sama temenku kayak farewell gitu lah dia tuh mau lanjut studi ke mana gitu, tapi dia cowok. Terus dia ngajak temennya, ternyata cowok juga…”

Belum selesai ia bercerita aku memotong ucapannya “Sek, yo rapopo to emange ngopo nek wedok dewe kan ngga berdua to?”

Temanku satunya ikut menanggapi dengan nada sedikit mencurigai “Hooh sih, lha nek ketemuan yo biasane kamu berdua, kan?”

Ia menjawab “Hee.. uduk kuwi masalahe, makane aku tak cerita sek.”

Ia melanjutkan ceritanya.

“Aku pas dateng langsung dikenalin ke temennya, temenku bilang juga kalo ini dulu mentor dia. Husnudzonku, mungkin temenku bermaksud barangkali aku butuh bantuan temennya. Terus husnudzonku, mungkin menurut temanku dan temannya temanku aku adalah orang yang susah diajak ngobrol, ngga nyambungan, ngga asik, atau apalah. Kalau misal itu okelah, ngga masalah lho aku hanya jadi pendengar mereka tuh. Hal yang paling gemesin tuh, selama nongkrong mereka sering banget membanggakan circle nya. Aku tahu sih temenku itu sekarang emang keren, relasinya ngga main-main. Aku sedikit tahu dia dulu gimana orangnya, gimana dia berjuang. Aku kayak ngga nyangka aja di depanku dia dan temannya sengaja mbuka grup mereka yang isinya orang-orang penting itu. Sampe ditunjukin ada orang-orang ini, gus-gus ini, kyai-kyai ini, ning-ning ini, dosen-dosen ini. Lah batinku buat apa ngasih tahu aku hal ini? Mau nunjukin kalo sekarang kamu sudah sekeren ini? Oh ya satu hal lagi, ges, temennya bilang gini ke aku yah ginilah mba..kami-kami ini pria-pria penggilan, kadang di panggil menteri, kadang di panggil dosen kadang ini itu. Kan nyebelin yaa? Gemezz banget lho aku. Arrrggghhhh.”

Aku dan temanku langsung saling menatap setelah mendengar ceritanya, dan menggelengkan kepala lalu sedikit tertawa.

Aku merespon itu “Hmm.. ngempet ngguyu sih nek aku pas di situ. Kamu haruse jawab untung belum di panggil Allah ya mas, gituuu ahaha.”

Temanku satunya merespon “Mungkin dia mau ngasih kamu motivasi, supaya kamu keren kayak mereka, atau mungkin kamu mau diajak keren dengan join circle-nya?”

Temanku diam mendengar respon kami, lalu ia menjawab “Tak sadari mungkin mentalku belum sampe kalo ngobrol sama orang keren, tapi kayae terakhir ketemu temenku ngga segininya sih dia, dia tuh bangga banget, aku bisa bilang kalo dia pamer,  ahaha. Tapi yoweslah emang layak berbangga tuh temenku dan temennya. Ahh nyebelin, salah nongkrong sih.”

 

Ia melanjutkan “Yang paling lucu, aku kan balik duluan. Dia ngechat di wa, sorry banget ya tadi, sampean jadi kurang banyak bercerita. Ngerasa agak bersalah aja, hehe.”

Kami berdua tertawa semakin kencang, hingga rasa pedas rujak ini membuat kami batuk. Awokawokawok.

“Temenmu udah terlalu lurus itu, jangan ditemenin, yaa.” Ucapku.

Satu temanku menasehati, “Wes..sesok neh ngga usah nongkrong karo wong keren, dan coba ganti definisi keren menurutmu. Hahaha.”

-

Sore itu aku ikut mempertanyakan definisi ‘orang keren’, meski lewat cerita temanku yang kurasa unik dan cukup lucu. Hmm, kenapa mereka yang disebut keren justru sering berjalan dengan besar kepala, ya? Kenapa aku baru kepikiran, ya. Ya, mereka punya akses yang besar untuk pongah, sih, dan itu wajar.

Comments

Popular Posts