KAKEK DI UJUNG GANG
Sudah seminggu aku bekerja di sebuah konter kecil di
Yogyakarta. Pekerjaannya cukup sederhana melayani
pembeli, merapikan barang, dan closing-an istilah yang biasa
kami sebut untuk
pergantian shift. Tapi malam itu, aku tak memikirkan pekerjaanku.
Bulan November selalu basah. Hujan
turun tanpa henti, membasahi jalanan, trotoar, dan hati yang kadang juga ikut
rintik. Malam itu, karena aku masih dalam masa training, aku bekerja mulai
pukul empat sore hingga tengah malam.
Entah kenapa, pandanganku selalu
tertuju pada seorang kakek berkaos biru dan celana pendek hitam. Langkahnya
selalu muncul dari arah gang depan konter, lalu berhenti di ujung gang sebelah
kanan tepat di depan pagar hitam, dengan sebatang rokok di
tangan.
Setiap sore sebelum maghrib ia
datang, lalu pergi sebentar, dan kembali lagi setelahnya. Diamnya panjang, tapi
seolah menyimpan arti yang sulit dijelaskan. Ia datang sebelum maghrib, pergi
sebentar, lalu kembali. Diamnya panjang, tapi rasanya penuh arti. Matanya
menatap lalu-lalang orang, seakan menunggu seseorang yang tak pernah datang.
Di kepalaku sempat terlintas “mungkin kakek ini tidak
waras”. Terdengar kasar tapi
memang itu yang ada dalam lamunanku.
Suatu malam, aku diminta menyapu sampah yang hanyut di
genangan air depan konter. Kakek itu tiba-tiba berbicara dari kejauhan. Aku
yang mungkin agak tuli kurang
mendengar apa yang kakek ucap hanya membalas dengan tawa, ia pun ikut tertawa. Tawa itu aneh, tapi entah kenapa membuatku merasa ringan.
Rasa penasaran akhirnya menang. Aku bertanya pada mas
konter yang membimbingku.
“Mas, kakek yang di ujung gang itu… beliau agak terganggu,
ya?” Tanyaku sedikit berhati-hati.
“Yang itu?” ia menoleh sambil menunjuk kakek berkaos biru. Aku
mengangguk.
“Awal aku kerja di sini
juga mikir begitu,” katanya. “Tapi aku tanya bapak-bapak angkringan di sebelah, dan
mereka bilang… kakek itu nggak gila. Pikirannya cuma berhenti di masa lalu.” Ia menceritakan lebih Panjang. “Dulu, kakek itu punya
seorang anak . Ia keras, suka mencubit, tapi selalu menunggu anaknya pulang
dari sekolah, sampai bekerja ia tetap menunggu. Suatu hari, anaknya
meninggal karena kecelakaan. Sejak itu, hidupnya seperti berhenti.
Istrinya sudah tiada, ia sendiri. Setiap sore, pada jam
tertentu, ia akan berdiri di ujung gang, menunggu kepulangan anaknya. Dia normal masih mengikuti kegiatan orang pada umumnya seperti bekerja.
Tapi di jam-jam tertentu ia akan izin pada orang sekitar untuk pulang sebentar. Tidak tahu apa yang sedang
ia pikiirkan, pastinya ia akan berjalan kearah ujung gang . Setelah lama berdiri, ia
pulang lagi, membawa sepi di bahunya.
Aku terdiam. Ada rasa iba, ada
rindu yang entah milik siapa. Hatiku berbisik pelan “Bapak, aku rindu. Semoga Tuhan masih memberiku kesempatan untuk
membuatmu bangga, meski bukan hari ini.”
Dari balik kaca
konter, aku
menatap ujung gang itu. Rintik hujan menetes di luar sana, jatuh di antara
cahaya lampu jalan yang temaram. Kakek itu masih berdiri di tempat yang sama,
tubuhnya sedikit membungkuk, tapi matanya tetap menatap lurus ke depan ditemani sebatang rokok kesayangannya, seolah masih yakin seseorang akan pulang.
Dan malam itu aku sadar, mungkin
kita semua punya “ujung gang” masing-masing. Tempat menunggu sesuatu
yang tak pernah kembali, tapi tetap kita jaga dengan kesetiaan paling sunyi.
Aku terus memperhatikan kakek itu.
Langkahnya sama, tatapannya sama, seolah waktu berhenti di sekitar dirinya. Seperti hari-hari biasanya ia pulang dengan senyum yang tak dapat
ku mengerti. Dan
di balik kaca konter itu, aku akhirnya mengerti satu hal, bahwa kasih sayang seorang ayah tak selalu tampak lembut. Kadang
ia hadir dalam bentuk amarah, cubitan, atau teguran yang dulu kita benci. Tapi
di balik semua itu, tersimpan cinta yang terlalu gengsi untuk diucapkan. “Pak aku tak tahu
bagaimana rindu yang begitu dalam bisa membuatmu berhenti menatap kenyataan”.
Ujarku perlahan.
Mungkin seperti kakek di ujung gang
itu. Yang masih menunggu anaknya pulang, meski dunia sudah lama mengatakan
tidak ada lagi harapan.



Comments
Post a Comment