Kita dan Normalisasi yang Tidak Normal


Contradixie, Esai – Resah ini adalah tentang "normalisasi". Makin ke sini, saya merasa dunia seperti memiliki tata aturan yang berbeda dari sebelumnya dalam menjalani hidup dan menjalankan peran sebagai seorang manusia. Aturan yang entah sejak kapan berubahnya ini, banyak ditaati oleh manusia. Tidak hanya ditaati sepertinya, tapi juga dinikmati dengan sangat oleh makhluk yang seringnya jika dilarang merasa seperti diwajibkan. 

Ini kondisi yang langka terjadi, di mana sebuah ketaatan pada peraturan dibalut dengan rasa nikmat dalam menjalankannya. Bukankah begitu? Berapa persen sih orang yang dengan semangatnya berangkat ke masjid saat adzan dikumandangkan? Berapa kali manusia di bumi mengeluh karena diwajibkan pakai masker saat harus masuk mall pada PPKM kemarin? Aturan memang lumrahnya tidak menggabungkan taat dengan nikmat dalam dirinya. Kalau mau taat yaaa ndak bisa hidup nikmat. Kalau mau nikmat yaaa coba lakukan apa-apa yang tidak sesuai aturan

Sebab anomali ini, saya meluangkan waktu untuk memikirkan apa yang sebenarnya terjadi. Peraturan yang berlaku di dunia ini rupanya merupakan produk pengadilan medsos. Hakimnya sudah tentu yang mulia netizen. Palu ketok diganti dengan ketuk tombol like sebagai bentuk afirmasi pada sebuah gagasan. Anda tidak setuju silahkan aju banding di kolom komentar, dan mari kita tunggu, banyak mana like untuk aju banding anda atau hate comment-nya.

Pengadilan ini telah benar-benar mengubah kita. Mengubah SOP hidup kita. Menggeser standar benar dan salah. Mengaburkan pola pikir dan cara pandang kita pada suatu hal. Bahkan, rasanya telah merampas definisi normal kita. Mari, saya perlihatkan beberapa produk dari pengadilan ini; 1) pria yang rajin ibadahnya (red; sholat 5 waktu) adalah kekasih idaman, 2) mahasiswa yang membaca buku sebelum masuk kelas adalah mahasiswa yang rajin dan mendapat hukuman diteriaki "anjay" oleh setiap orang yang melihatnya, 3) Semua individu berakal sehat berhak untuk healing setelah menyelesaikan tugas.

Lihat, bukankah rajin ibadah dan sholat 5 waktu sudah seharusnya hal yang lumrah dan wajib dilakukan oleh umat beragama. Kenapa hal lumrah seperti ini menjadi istimewa hingga seorang pria yang berhasil melakukannya adalah pria idaman? Sudah jelas jawabannya adalah karena pengadilan medsos telah merampas kelumrahan tadi dan menggantinya dengan lumrah yang harusnya adalah "tidak lumrah". Tidak rajin beribadah dan meninggalkan sholat oleh pengadilan ini ditetapkan sebagai hal lumrah dan bukan sebuah masalah berarti. Rasanya, tidak sedikit dari kita yang merasa sungkan untuk menyuruh temannya beribadah atau segera sholat karena waktu sudah hampir masuk ke sholat berikutnya. Itu juga produk dari pengadilan ini, bung!

Berikutnya, kenapa mulut kita sangat patuh pada pengadilan ini sehingga akan reflek meng-anjay-kan teman kita yang sedang membaca buku. Entah anjay itu mengandung rasa kekaguman atau ejekan karena dengan membaca artinya ia mahasiswa yang rajin. SOP kita yang dulunya mewajibkan kita untuk belajar dan membaca sebelum masuk kelas telah diubah oleh pengadilan ini, pandangan kita telah dikaburkan sehingga si rajin nampak salah dan si malas nampak benar. Kelumrahan membaca sebelum masuk kelas sudah bukanlah kelumrahan lagi sekarang. Kamu tidak membaca, kamu lumrah. Yang di luar kelumrahan berhak kamu anjay-kan.

Contoh ketiga, jelas ini pasal karet! Istilah healing ini sungguh telah menghancurkan banyak mental pemuda kita. Healing yang dulunya berfungsi menjaga kewarasan dan kesehatan mental kita malah berdampak sebaliknya. Tidak jelasnya kuantitas dan kualitas tugas yang harus diselesaikan sebagai syarat healing ini lah yang saya sebut sebagai karet dan dampaknya adalah mental kerupuk pemuda kita. Tugas artikel 600 kata yang diselesaikan dengan bantuan Ai dilanjutkan dengan healing ke bioskop. Mental mana yang harus di-healing-kan? Siapa yang hilang warasnya oleh tugas tersebut sehingga harus healing? Saya tidak sedang mempermasalahkan kebutuhan healing, saya sedang berusaha untuk mengembalikan mental seorang pelajar yang tidak pernah hilang waras meski harus menempuh jarak yang jauh untuk berangkat ke sekolah dan masih harus mencari nafkah saat pulangnya agar tetap bisa melanjutkan pendidikannya. Pengadilan medsos dan hakim yang mulia netizen telah mengaburkan pandangan kita pada batas-batas healing dan tugas yang se-lumrah-nya.

Manusia yang berakal sehat dan sudah baligh harusnya bisa membedakan mana yang normal dan mana yang normalisasi. Seharusnya sudah lihai dalam memilah mana yang benar, mana yang sebatas terlihat benar, mana yang sebuah pembenaran, dan mana yang hanya mengatasnamakan kebenaran. Standar normal bukanlah yang dianggap normal tapi yang baik untuk hidup manusia dan alam. Standar benar bukan yang dianggap benar tapi yang mengandung kebaikan (red; mashlahah) untuk khalayak umum.

Sederhana saja bukan untuk menetapkan normal yang benar? Masalahnya, betapa banyak kesederhanaan yang sulit untuk digapai? Masalahnya, betapa langka perilaku normal sehingga kita sulit untuk mengembangbiakkannya? Ya, kita semua sedang bertanya dan menunggu.

Wahai kita, bukankah sudah jelas kita telah sangat kabur dalam memilahnya. Sering-seringlah menghindar dari pengadilan medsos.


Oleh : Alin Adzkanuha/Santri PPM. Al-Hadi, Krapyak


Tags

Post a Comment

0 Comments
* Mohon Jangan Spam Disini. Semua Komentar ditinjau oleh Admin