Filsafat "Cari Hikmahnya"


Setiap kita tentu punya alasan berbeda ketika memutuskan untuk membeli buku. Kadang membelinya karena sampulnya menarik, karya teman sendiri, suka dengan temanya, direkomendasikan orang terpercaya, atau karena penasaran aja kenapa kok buku tersebut selaris itu.

Filosofi Teras ini sudah masuk ke kategori mega best seller. Buku yang saya baca adalah cetakan ke-49, dicetak bulan Januari tahun 2023. Sekarang sudah 2024 dan stoknya di mana-mana selalu tersedia. Sepertinya sekarang sudah masuk ke cetakan lima puluh sekian. Barangkali.

Biasanya saya tidak se-FOMO itu untuk urusan buku nonfiksi, apalagi buku dengan label self improvement, self development, atau motivasi. Bukan karena saya menganggapnya jelek, hanya saja saya sudah berada di tahap bosan. Sejak usia SMP hingga kira-kira usia awal kuliahan, saya banyak mengonsumsi buku-buku jenis ini, belakangan saya sadari kalau buku-buku tersebut tidak membawa saya ke mana-mana. Saya sudah terlanjur membuang banyak waktu. Tapi ini hanya preferensi pribadi lho, ya.



Ketika mendapati Filosofi Teras disebut-sebut di mana-mana, entah kenapa tiba-tiba saya jadi ingin sekali membacanya. Mungkin karena judulnya yang terdengar unik, filosofi dan teras?

Benar saja, buku Filosofi Teras ini ternyata memang tidak mirip dengan buku-buku dengan label serupa yang pernah saya baca. Buku ini tidak menghambur-hamburkan kalimat penyemangat atau iming-iming yang bakal bikin kita terpacu. Sebaliknya, kita justru disuruh bersikap biasa aja atas segala hal. Kelihatannya rada kurang meyakinkan ya, tapi saya merasa justru itulah yang dibutuhkan sekarang.

Isu tentang mental health belakangan ini terus mencuat. Sebagian menyebut penyebab banyaknya orang yang terkena mental health dipengaruhi oleh keberadaan media sosial. Misalnya saja unggahan-unggahan di instagram yang menunjukkan pencapaian-pencapaian seseorang, flexing jalan-jalan keliling dunia, atau foto-foto instagramable dengan OOTD yang kece. Bagi pengguna media sosial yang tidak memiliki pencapaian tersebut kadang timbul rasa iri, insecure, merasa tidak berguna. Pada akhirnya mereka terlalu memikirkan keberhasilan orang lain dan membandingkan dengan kekurangan dirinya.



Dalam buku Filosofi Teras ini kita seakan disadarkan bahwa keindahan yang tampak di media sosial itu bukanlah sebagaimana adanya kehidupan seseorang. Lagi pula, sekalipun itu benar adanya, kita tidak perlu merasa iri hati. Kita punya kuasa untuk tidak menginginkan sesuatu. Nah, buku ini tuh ngajarin banget bahwa segala sesuatu tergantung dengan cara pandang kita. Kalau sesuatu yang buruk terjadi, atau ada suatu hal yang terlihat kurang berkenan, sebenarnya kita bisa menghadapinya dengan mudah, yaitu dengan mengubah cara berpikir atau cara kita menyimpulkan sesuatu.

Saya senang menyebut ajaran dalam buku ini sebagai ajaran 'cari hikmahnya'. 

Filosofi Teras atau filsafat stoisisme yang diterangkan dalam buku ini menurut saya mengarah pada ajakan untuk selalu menangkap hikmah dari setiap peristiwa yang terjadi, terutama peristiwa yang kita anggap buruk. Semisal, kemarau berbulan-bulan yang melanda daerah tempat kita sehingga menyebabkan cuaca begitu panas, tidur malam pun tetap harus kipasan. Alih-alih mengeluh, kita bisa melihat hal positif apa yang kira-kira dapat diambil. Oh kemarau ini membawa rezeki untuk pedagang es teh, oh karena cuacanya panas pakaian saya jadi cepat kering, sabi nih kalau mau nyuci tiap hari.


Barangkali kesannya seperti berpasrah diri, tapi sebenarnya tidak. Sikap yang dituntut dalam stoisisme adalah sikap realistis. Bahwa ada hal-hal di luar kendali kita yang memang tidak bisa diubah, maka reaksi kita terhadap hal tersebutlah yang perlu diubah. 

Sekian.



Post a Comment

0 Comments
* Mohon Jangan Spam Disini. Semua Komentar ditinjau oleh Admin