Serangan Pandemi VPMR (Virus Polisi Musuh Rakyat) Di Indonesia

Disclaimer! 

Tulisan ini disusun oleh penulis berdasarkan pengamatan penulis terhadap beberapa peristiwa yang terjadi di sebuah negara yang menjunjung tinggi HAM, kehormatan wanita, dan menjamin keamanan juga nyawa setiap penduduknya. Tulisan ini tidak fiktif belaka apabila ada kesamaan peristiwa dalam tulisan ini dengan peristiwa yang terjadi di sekitar anda, segeralah melapor dan jangan lupa sertakan #PercumaLaporPolisi.


Oleh: Alin Adzkanuha*

Contradixie, Esai – Sepanjang 2021 Indonesia terus diterpa badai musibah. Mulai dari Covid-19 yang entah sampai kapan akan terus dikomersialisasi, Semeru yang baru-baru saja memuntahkan dahak erupsinya, tsunami di Lombok yang kurang mendapat perhatian media, hingga fenomena maraknya kasus pidana yang dilakukan oleh pihak aparatur negara kepolisian. Maaf, saya ralat oknum kepolisian.

Miris dan mengundang emosi kalau kita sadar semakin banyak saja berita-berita yang tayang di berbagai media terkait tindak pidana oleh pihak yang disebut oleh atasannya sebagai oknum kepolisian. Miris karena mereka yang seharusnya mencegah dan memberantas tindakan pidana justru mereka yang memerankan tokoh pelaku dalam kasus tindakan pidana.

Mengundang emosi? Sudah tentu, siapa yang tidak naik pitam menyaksikan dan mendengar berita lucu seperti itu. Bahkan, umpatan kesal serupa BANGSAT pun jika ditujukan pada aksi para oknum yang melakukan tindak pidana seperti itu saya rasa akan dicatat oleh malaikat sebagai tindakan mulia. Tindak pidana mereka yang mengaku manusia ini sungguh di luar nalar manusia, mulai dari pelecehan seksual, pembunuhan, pencurian, dan berbagai kasus tindak pidana lain yang sungguh mengherankan bagaimana bisa tokoh pelakunya diperankan oleh oknum kepolisian.

Apakah saya berlebihan atau justru terlalu halus dalam menggambarkan bencana ini adalah murni hak para pembaca untuk menilainya. Sebentar, sebelum melakukan penilaian berikutnya saya akan ceritakan sebuah kisah lucu yang bukan fiktif belaka di negara yang sebagaimana sudah saya sampaikan pada disclaimer “menjunjung tinggi HAM dan menjamin keamanan penduduknya”.

Kisah berlatar tempat di Kabupaten Tangerang. Alkisah seorang mahasiswa ditemukan terbujur lemas tak sadarkan diri setelah tubuhnya dibanting oleh seorang “oknum” polisi saat aksi demo di depan kantor bupati Kabupaten Tangerang, Banten. Terekam dalam sebuah video aksi pengamanan yang tidak sesuai dengan SOP tersebut memperlihatkan seorang polisi melakukan adegan kekerasan dengan membanting tubuh seorang mahasiswa ke trotoar.

Saking kerasnya bantingan oknum tersebut, sang mahasiswa langsung terkapar pingsan setelahnya. Entah atas dasar takut terjerat hukum atau empati sesama manusia, sang polisi mungkin baru sadar kalau yang telah ia banting adalah seorang manusia yang seharusnya ia ayomi sebagai aparatur negara sehingga segera polisi tersebut berusaha mengembalikan kesadaran mahasiswa yang pingsan itu. Mahasiswa tersebut tak kunjung sadar hingga akhirnya dilarikan ke rumah sakit untuk pemulihan. Pascainsiden, Kapolda Banten Irjen Polisi Rudy Heriyanto dan Kapolresta Tangerang Kombes Wahyu Sri Bintoro memohon maaf atas kejadian yang dilakukan oleh bawahan mereka kepada korban dan keluarga korban. Tamat.

Sekarang, mari kita sedikit mengulas kisah tersebut. Awalnya saya merasa heran, bagaimana bisa seorang anggota dari sebuah lembaga negara yang tugasnya menegakkan hukum malah main hukum sendiri (red; smackdown). Ternyata setelah saya menelisik apakah ada peristiwa serupa yang terjadi di waktu lalu, rasa heran saya berubah menjadi geram karena ternyata menurut data Komisi untuk Orang hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS) mengatakan bahwa sejak Juni 2020 sampai Mei 2021 terdapat 651 kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Padahal menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2003 Pasal 4 Poin A disebutkan bahwa aparat kepolisian diwajibkan untuk memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan dengan sebaik - baiknya kepada masyarakat. Husnuzhon saya, sepertinya rasa sayang dan cara polisi tadi mengayomi adalah memang dengan seperti “itu”. Bukankah mereka yang posesif dan mereka yang membebaskan pasangannya juga atas dasar cinta melakukannya.

Masih banyak kasus bencana pandemi VPMR (Virus Polisi Musuh Rakyat) yang disajikan di berbagai media, entah varian yang menyerang nyawa seperti kasus pembunuhan 2 wanita Medan oleh polisi yang tak terima dikomplain, atau varian yang mengotori kehormatan wanita seperti kasus di Mojokerto, di mana seorang polisi menghamili pacarnya lalu memaksanya untuk aborsi hingga sang pacar frustasi dan memutuskan bunuh diri, atau varian yang gejalanya berupa terkikisnya rasa kemanusiaan seperti kasus penghentian penyelidikan atas laporan seorang ibu di Luwu timur, Sulawesi Selatan terkait pemerkosaan ketiga anaknya yang masih dibawah umur oleh mantan suaminya sendiri yang berarti juga merupakan ayah dari ketiga anak tersebut.

Belum terlihat jelas, langkah pemerintah dalam penanganan sekaligus pencegahan penyebaran terhadap pandemi VPMR (Virus Polisi Musuh Rakyat) di negeri ini. Sejauh ini, rakyat masih bergerak atas inisiatif sendiri seperti gerakan #PercumaLaporPolisi, #OknumAparatBrengsek, #PolisiMusuhRakyat, dan beberapa gerakan lain yang tujuannya adalah agar segera mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Bukankah sudah menjadi tradisi di negeri ini bahwa untuk mendapatkan keadilan tidak cukup dengan menjadi benar, syarat berikutnya adalah viral dan mendapat desakan dari publik.

Tentu, tidak setiap polisi termasuk bagian dari pandemi VPMR (Virus Polisi Musuh Rakyat), tak sedikit juga polisi yang masih baik dan menjalankan segala kewajiban sebagaimana seharusnya. Yang menjadi bagian dari pandemi VPMR hanya “oknum” saja kok. Iya, oknum yang kian hari kian terlihat jelas di hadapan publik, oknum yang kian hari kian menyebarkan pandeminya dengan segala variannya. Terlepas dari itu semua, ada satu hal yang sempat melunakkan hati saya dan mendinginkan emosi saya, saya sadar bahwa VPMR (Virus Polisi Musuh Rakyat) ini juga sebenarnya adalah manusia yang sama seperti kita. Sama-sama memiliki nafsu, sama-sama punya ambang kesabaran, sama-sama punya peluang untuk melakukan kejahatan, dan tentunya sama-sama punya kesempatan untuk bisa berubah menuju lebih baik.

Tapi, jangan sampai kita terlena dengan fakta itu, fakta bahwa mereka adalah manusia yang sama seperti kita juga tidak bisa dijadikan alasan untuk membenarkan perlakuan mereka bukan? Mari kita coba analogikan kasus ini. Seorang pemuka agama dan jemaatnya sama-sama manusia, yang artinya sama-sama memiliki kewajiban yang sama sesuai agamanya. Akan tetapi pemuka agama memiliki tanggung jawab juga kewajiban yang lebih untuk selalu menunjukkan hal-hal yang dibenarkan agamanya dan selalu melarang hal-hal yang tidak dibenarkan agamanya kepada seluruh jemaatnya. Kenapa? Padahal sama-sama manusia. Karena pemuka agama secara struktur sosial memiliki kewajiban sebagai teladan dan pilar utama dalam penegakan fondasi agamanya. Sama halnya dengan polisi, secara struktur sosial mereka memiliki peran dan kewajiban untuk menjadi contoh baik dalam bernegara dan bersosial karena mereka adalah pengayom dan pengaman masyarakat.

Apabila selalu mengatasnamakan oknum dalam setiap kasus, rasanya dengan jumlah kasus yang banyak saya pribadi sulit untuk bisa menerima istilah oknum yang digunakan sebagai kambing hitam oleh pihak kepolisian. Di akhir muncul pertanyaan, siapa yang sebenarnya dibela oleh polisi? Rakyat? Penguasa? Atau kepentingan pribadi mereka? Haruskah rakyat berperan menjadi lawan polisi? Silahkan dijawab sesuai dengan keyakinan masing-masing pembaca. Berharap di 2022 yang sudah di hadapan mata ini, VPMR (Virus Polisi Musuh Rakyat) kian mereda, terlebih lagi punah dari negeri kita.

*Penulis adalah Santri Krapyak Yogyakarta  

 

Tags

Post a Comment

2 Comments
* Mohon Jangan Spam Disini. Semua Komentar ditinjau oleh Admin
  1. Luangkan waktu tiga lima menit setiap hari untuk memprihatini dan membenci penguasa (yang gak genah tentu saja) hehe

    ReplyDelete
  2. Luthfi Pelayan Tanpa MajikanJanuary 3, 2022 at 8:10 PM

    Seperti halnya roasting dalam dunia stand up, tulisanmu bagaikan bentuk kasih sayangmu pada NKRI, wangun mas, tetap berkarya

    ReplyDelete